ULAMA sejatinya
berfungsi sebagai panutan masyarakat. Memberikan pemahaman yang benar
tentang ajaran agama sebagaimana yang sudah diajarkan oleh Rasulullah
SAW kepada masyarakat muslim sebelumnya. Ulama dituntut untuk bisa
memberikan rujukan yang otentik tentang ajaran agama Islam atas
problematika kehidupan masyarakat muslim yang tak pernah surut. Dalam
wilayah ini ulama berperan sebagai pewaris ajaran Nabi.
Sebagaimana
hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Khathib melalui Jabir,
Rasul Saw bersabda: “Muliakanlah oleh kalian para ulama, karena mereka
adalah pewaris para nabi; barangsiapa memuliakan mereka berarti ia
memuliakan Allah dan Rasul-Nya.”
Dalam hadits lain yang cukup panjang
dijelaskan pula bahwa ulama adalah orang-orang yang terpilih diantara
sekian banyaknya manusia, “Orang-orang yang terpilih dari umatku
adalah para ulama dan para ulama yang terpilih adalah orang-orang yang
paling belas kasihan. Ingatlah, sesungguhnya Allah SWT, benar-benar
memberi ampunan kepada orang alim sebanyak empat puluh macam dosa,
sebelum Dia memberi ampunan satu macam dosa terhadap orang yang jahil
(tidak mengerti agama), ingatlah, sesungguhnya orang alim yang belas
kasihan itu kelak di hari kiamat ia datang dalam keadaan bercahaya, dan
sesungguhnya cahaya orang alim itu selalu menerangi jalan yang
ditempuhnya sejauh antara arah timur dan arah barat, cahayanya itu
seakan-akan bintang yang kemilau cahayanya.” (HR. Al-Qudha’i melalui Ibnu Umar r.a.)
Hadits ini menjelaskan bahwa ulama adalah
sebaik-baik manusia setelah Nabi. Mereka adalah pewaris sekaligus
penerus ajaran Nabi. Kemilau cahaya Ilahi dalam perangai mereka, mampu
menerangi dunia yang gelap -antara timur dan barat- dari cahaya
kemuliaan agama. Begitu luasnya pengaruh kemuliaan ulama, sampai-sampai
Allah SWT mengabadikannya di dalam Al-Qur’an, “Dan demikian (pula)
diantara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak
ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut
kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Fathir [35]: 28)
Pantas saja, kehidupan para ulama dahulu
yang memperjuangkan integritas ajaran Islam selalu dirundung oleh
berbagai macam tudingan, ancaman, serta hukuman yang sangat berat dari
musuh Islam yang benci kepada pergerakan dakwah mereka. Hal itu tidak
lekas menyurutkan pergerakan dakwah mereka. Mereka (para mujahid) lebih
gencar lagi mendakwahkan Islam sebagai sebuah agama rahmatan lil’alamin.
Berikut adalah profile dua tokoh pejuang Islam yang sama-sama
memperjuangkan identitas Islam atas dasar Al-Qur’an dan as-Sunnah. Akan
tetapi, terdapat perbedaan yang cukup kontras diantara keduanya, yakni
sikap terhadap Kolonial Belanda.
Keduanya sama-sama memperjuangkan ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang mendasar dari keduanya, yakni persfektif terhadap Kolonial Belanda.
Ahmad Dahlan, Menentang Tradisi Lokal
Ahmad
Dahlan adalah salah satu ulama besar di zamannya yang berani dengan
keras menentang kebijakan Kolonial Belanda atas sistem kastaisasi
pendidikan untuk kaum bumi putera. Ia lahir di Yogyakarta pada 1 Agustus
1868 dengan nama kecil Muhammad Darwis. Adapaun nama Ahmad Dahlan
adalah pemberian gurunya sewaktu belajar di Kota Mekah.
Ahmad Dahlan adalah putera keempat dari
tujuh bersaudara (lima saudaranya perempuan dan dua lelaki yakni ia
sendiri dan adik bungsunya) dari pasangan dari K.H. Abu Bakar (seorang
ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada
masa itu) dengan Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang juga
menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu). Jadi, secara
genealogis Ahmad Dahlan adalah keturunan darah biru dari Kasultanan
Yogyakarta. Jika ditelusuri lebih jauh dalam silsilah keluarga, Ahmad
Dahlan termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim,
seorang wali besar diantara Wali Songo.
Silsilahnya lengkapnya ialah Muhammad
Darwis (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin
Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang
Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom)
bin Maulana Muhammad Fadlul’llah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin
Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim. Wajar saja jika pergerakan
dakwah Ahmad Dahlan bersikap ideologis dan keras menentang kolonialisme
Belanda di Nusantara.
Keluasan ilmu Ahmad Dahlan di kemudian
hari berawal dari pendidikan keluarga yang sangat mengutamakan
pendidikan agama. Ia dididik oleh keluarganya melalui metode pendidikan
nabawi dengan hidup di lingkungan pesantren. Sehingga wajar, Dahlan
kecil memiliki pemikiran berbeda dari kebanyakan remaja seusianya pada
waktu itu yang lebih sibuk dengan agenda hura-hura. Dahlan kecil lebih
berfikir ke depan tentang realitas keagamaan masyarakat sekitar yang
banyak mengusik naluri pembaharuannya di masa depan. Tak ayal, ketika
usia 15 tahun ia memutuskan untuk pergi haji dan belajar agama Islam
lebih dalam di Kota Mekah. Ketika berada di Mekah, Ahmad Dahlan semakin
intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia
Islam, seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, dan
Ibn Taimiyah.
Interaksi ini sangat berpengaruh pada
semangat, jiwa dan pemikiran Dahlan ketika pulang ke Indonesia. Setelah
lima tahun belajar di Mekah, tepatnya pada tahun 1888, saat berusia 20
tahun, Dahlan kembali ke kampungnya. Lalu, ia pun diangkat menjadi
khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902, ia
menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, sekaligus dilanjutkan dengan
memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Mekah hingga tahun 1904.
Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, pembaharu
dari Minangkabau yang juga guru dari pendiri organisasi NU, KH. Hasyim
Asyari. Sepulang dari Mekah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya
sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah, kemudian lebih
dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan
pendiri Aisyiyah (salah satu organisasi intern Muhammadiyah).
Pasangan ini mendapat enam orang anak
yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah,
dan Siti Zaharah. Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi
Nyai Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir
Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya
dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama
Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman dari
Yogyakarta. Perjalanan spiritual Ahmad Dahlan dalam memahami Islam
cukuplah panjang dan berliku. Berguru ke berbagai tempat, serta
mendapatkan banyak pemahaman tentang agama Islam.
Hal terpenting dari perjalanan spiritual
Ahmad Dahlan adalah ketika ia berhasil mengubah paradigma masyarakat
kampungnya yang bersifat ortodok menjadi lebih modern. Menurutnya,
ortodok mengakibatkan kejumudan berfikir, stagnasi pemikiran yang
semakin menurunkan aspek nalar intelektual. Hal ini menjadi nilai tambah
bagi Kolonial Belanda yang sedang menancapkan faham kolonialismenya di
Indonesia dan menjadi nilai kurang bagi bangsa dan negara Indonesia
sendiri. Karena perilaku keagamaannya berlainan dengan kebiasaan
masyarakat sekitar -seperti menjauhi tradisi sesajenan, mengubah arah
kiblat- ia sempat digelari oleh masyarakat dengan sebutan “Kyai Kafir.”
Hal terberat dalam perjalanan dakwah Ahmad Dahlan adalah ketika langgar
tempat mengajinya dirobohkan oleh masyarakat sekitar karena mendapat
hasutan dari kyai yang bersebrangan dengan idealismenya dalam menentang
praktek keagamaan yang ortodok.
Perjuangan Ahmad Dahlan dalam memurnikan
ajaran Islam dari unsur tradisi lokal yang puritan, banyak didorong oleh
sang istri Siti Walidah, serta murid-murid setianya. Sempat beliau
berputus asa ketika dakwah Islamiyahnya terganjal oleh hasutan Kyai pro
Belanda. Namun, atas kebesaran hati Ahmad Dahlan serta dorongan kuat
dari keluarga, terutama sang istri, akhirnya Ahmad Dahlan kembali
membangun semangat untuk memurnikan niatnya dalam mendakwahkan ajaran
Islam. Ahmad Dahlan adalah pendiri organisasi besar Muhammadiyah yang
berpusat di Yogyakarta. Beliau mendirikan Muhammadiyah pada tanggal 18
Noember 1912 Masehi bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 Hijriah. Dalam
website resmi PP Muhammadiyah, dijelaskan bahwa kata “Muhammadiyah”
secara bahasa berarti “pengikut Nabi Muhammad”.
Penggunaan kata “Muhammadiyah”
dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak
perjuangan Nabi Muhammad. Penisbatan nama tersebut menurut H. Djarnawi
Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: “Dengan nama itu dia
bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat
Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan
tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang
memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya
dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan
demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi
kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.” Pada masa
kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas
hanya di karesidenan-karesidenan, seperti: Yogyakarta, Surakarta,
Pekalongan, dan Pekajangan.
Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah
membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai
Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang
Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah
inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan
Kalimantan. Singkat cerita, pada tahun 1938 Muhammadiyah telah tersebar
keseluruh wilayah Indonesia dan mulai mengembangkan program dakwahnya
secara lebih besar.
Pemerintah Republik Indonesia
menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden
no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
- 1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
- 2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
- 3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
- 4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Mengenai langkah pembaharuan Kyai Dahlan,
yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung Kauman, Adaby Darban
(2000: 31) menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai berikut:
“Dalam bidang tauhid, KH. Ahmad Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam
dari segala macam syirik. Dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara
ibadah dari bid’ah. Dalam bidang mumalah, membersihkan kepercayaan dari
khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia
merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad.”
Ketauhidan menjadi prioritas utama organisasi yang didirikan oleh Ahmad
Dahlan ini. Hal ini berawal dari realitas masyarakat Kauman Yogyakarta
yang melakukan ritual keagamaan bercampur mistik. Ahmad Dahlan
mengetahui bahwa hal tersebut adalah syirik yang sangat berbahaya
dilakukan oleh seorang muslim karena perilaku syirik adalah hal yang
paling dibenci oleh Allah dan tidak akan pernah diampuni.
Ahmad Rifa’i, Ulama Sekaligus Pahlawan Nasional
Ia
adalah ulama besar ahli Tarekat. Ia sangat gigih melawan kolonialisme
Belanda ketika menancapkan pengaruhnya di Nusantara. Oleh karena itu,
Presiden Susilo Bambang Yudoyono memberikan gelar kehormatan sebagai
Pahlawan Nasional, melalui Kepres Nomor: 089/TK/2004. Selain itu, Kyai
Rifa’i juga dikenal sebagai sosok pemimpin rakyat yang tegas, ulet dan
teguh dalam pendirian. Sehingga, DR. Karel Steenbring dalam salah satu
tulisannya, menyebut Kyai Rifa’i sebagai reformis fundamentalis sejati.
Kekuatan tokoh ini menurut beliau, terletak pada prinsip dan semangat
juangnya, yakni tekad untuk mengembalikan Islam pada Al-Qur’an dan
Sunnah. Ahmad Rifa’i dilahirkan di Desa Tempuran, Kabupaten Semarang
pada hari Kamis tanggal 9 Muharram tahun 1200 Hijriah bertepatan dengan
tahun 1786 Masehi (dalam versi lain 1785). Ayahnya bernama Muhammad
Marhum bin Abi Sujak Wijaya, seorang penghulu di Kendal, Jawa Tengah.
Ibunya bernama Siti Rohmah.
Ahmad Rifa’i merupakan anak bungsu dari
delapan bersaudara. Mungkin sudah menjadi ketentuan dari Allah bahwa
dalam sejarahnya seorang calon mujahid yang tangguh akan mengalami
cobaan yang bertubi-tubi. Begitu pula dengan Ahmad Rifa’i. Beliau
ditinggal pergi oleh ayahanda tercinta untuk selama-lamanya. Pada waktu
itu ia masih berusia enam tahun. Inilah awal cobaan yang diterima oleh
Ahmad Rifa’i dari Allah Swt sebelum cobaan lain yang lebih besar menimpa
dirinya. Setelah kepergian ayahnya, Ahmad Rifa’i diasuh oleh kakaknya,
Nyai Rajiyah binti Muhammad, yang merupakan istri dari ulama pendiri dan
pengasuh Pesantren Kaliwungu, KH. Asy’ari. Maka, dimulailah perjuangan
Ahmad Rifa’i dalam menebarkan pesan-pesan ajaran agama Islam kepada
masyarakat luas.
Ia berjuang dan menyebarkan Islam dengan
gigih dan tak kenal menyerah. Relasi ia kumpulkan agar lebih mudah dalam
menyebarkan pesan-pesan agama bagi masyarakat luas. Perjalanan hidup
Kyai Rifa’i amatlah panjang dan berliku. Ketika masih kecil, ia mulai
berdakwah dengan melakukan tabligh keliling di daerah Kendal dan
sekitarnya. Disamping menyampaikan masalah tentang keagamaan, Rifa’i
juga menyampaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat,
terutama masalah tentang arti kemerdekaan dan perjuangan melawan
kolonial. Bentuk dakwah seperti ini lah yang menjadi cikal bakal
diasingkannya KH Ahmad Rifa’i beserta para ulama lainnya oleh pemerintah
kolonial ke daerah Ambon, dan selanjutnya ke Manado. Namun, berkat
kegigihan dan girah yang tinggi tak lekas menyurutkan semangat juang
Kiayi Rifa’i beserta pengikutnya untuk terus mendakwahkan ajaran Islam.
Kyai Rifa’i tetap konsisten dalam menyebarkan ajaran Islam. Bahkan,
ketika ia diasingkan oleh kolonial, bukannya surut, pergerakannya malah
semakin membuat pihak kolonial takut.
Pada tahun 1838, ia dibuang ke kalisalak,
sebuah desa terpencil di Kecamatan Limpung, Batang, namun mujahid yang
tak pernah patah arang ini pada tahun 1841 justru membangun sebuah
Pesantren Al-Qur’an di kawasan Hutan Belantara itu. Pesantren baru ini
berkembang pesat, lama kelamaan santrinya berdatangan dari berbagai
penjuru pulau jawa. Tapi gara-gara aktivitasnya itulah pemerintah
Belanda lagi-lagi gerah. Apalagi karena Kyai Rifai tetap saja
menggembleng para patriot desa dengan semangat anti penjajah yang kafir.
Dalam mengompori gerakannya, Kyai Rifa’i tampil menentang penjajah
dengan Gerakan Tarajumah. Gerakan ini lebih menekankan pada aspek
keagamaan dengan budaya masyarakat lokal. Ia membuka kesadaran
masyarakat untuk menjadikan Islam sebagai roh kehidupan dan perjuangan.
Kata Tarajumah, dialek Sunda untuk kata
Tarjamah dari bahasa Arab, diambil dari kitab agama karangannya yang ia
susun di sela-sela mengajar. Selain Tarajumah, Kyai Rifa’i berhasil
menyusun Kitab Nazam Wikayah. Kitab ini berisi anjuran kepada kaum
muslim Jawa untuk menentang dan melawan orang kafir Belanda serta mereka
yang bersekutu dengannya. Slamete dunya akherat wajib kinira nglawan
raja kafir sekuasane kafikira tur perang sabil lewih kadene ukara
kacukupan tan kanti akeh bala kuncara (Keselamatan dunia-akherat wajib
diperhitungkan melawan raja kafir sekemampuannya perlu dipikirkan‟
demikian juga perang sabil lebih dari pada ucapan cukup tidak
menggunakan pasukan yang besar) Selain doktrin kepada pemerintah
kolonial Belanda, K.H. Ahmad Rifa’i juga mengajarkan doktrin protesnya
terhadap birokrat feodal tradisional yang menjadi kaki tangan Belanda.
Merekalah musuh yang paling berbahaya bagi pergerakan dakwah Kyai Rifa’i
beserta para pengikutnya.
Doktrin ini terlihat dalam Kitab Tarqhib.
Tanbihun, tinemu negara Jawi rajane kufur Iku amar naha ora gugur Saben
mukalaf ghalib ana kuasa milahur Uga bisa ghalib derajate luwih luhur
Tinemu alim fasiq ngilmune ketanggungan Ningali ing negara Jawi dhalim
rajane kinaweruhan Iku aweh pitutur tinemu linakonan Wajib amar naha
sabab akeh kamaksiatan (Ingatlah! Sekarang didapati penjajah sudah
menguasai negara Jawa Berjuang mencegah selalu diharapkan Tiap-tiap
rakyat dewasa kalau mampu melaksanakan Kalau memang benar-benar mampu
mencegahnya akan memperoleh kemulyaan Kamudian, kalau didapati ada alim
penghianat yang ilmunya diragukan Otomatis mereka melihat Jawa jelas
dikuasi penjajah dan menindas rakyat Sikapnya mestinya harus memberi
penjelasan ke arah yang baik untuk dilaksanakan Sebab wajib bagi mereka
mencegah kalau sudah terjadi wabah kemaksiatan). Dalam serangkaian
tulisannya, Kyai Rifa’i selalu menyebut Belanda sebagai penjajah kafir,
dan siapapun yang berkolaborasi dengan Belanda, maka hukumnya juga
Kafir, dan halal untuk diperangi.
Pandangan seperti itu, akhirnya menjadi
fatwa yang tersebar luas di kalangan masyarakat Kalisalak dan
sekitarnya. Sehingga membuat Belanda sangat marah dan mengejeknya dengan
julukan “Setan Kalisalak”. Bahkan atas suruhan Belanda pula, sejumlah
ulama yang pro Belanda sempat menggelarinya sebagai “Ulama Sesat”.
Karena sikapnya yang begitu keras memerangi Belanda, mengakibatkan ia
harus mendapat kecaman, bahkan ancaman serius dari pemerintah Belanda,
maupun ulama yang bersebrangan dengannya. Akhirnya larangan berdakwah
pun dikeluarkan, tapi ia tetap jalan terus, bahkab semakin gencar.
KH. Ahmad Rifa’i adalah ulama sekaligus
mujahid, pejuang Islam, ia dicintai dan sangat dekat dengan rakyat,
terutama karena ia mampu mengajar agama dengan bahasa lokal Jawa, campur
Sunda, sebagai bahasa perantara. Ia menulis puluhan kitab Agama dalam
bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Pegon, huruf Arab berbahasa Jawa.
Tak kurang dari 55 judul kitabnya, kini masih dibaca oleh para
pengikutnya. Kyai Rifa’i menyebut kitab-kitab dalam bahasa Jawa itu
sebagai Tarajumah, yang berarti Terjemahan.
Hingga saat ini masih ada beberapa murid
Kyai Rifa’i yang melanjutkan dakwah dan perjuangannya. Antara lain,
Abdul Aziz (Wonosobo) Ishak (Kendal), Imam Puro (Batang) Abu Salim
(Pekalongan) dan masih banyak lagi. Para pengikut Kyai ini membentuk
sebuah organisasi yang bernama Rifa’iyah, berpusat di Kedungwuni,
Pekalongan, Jawa Tengah. KH. Ahmad Rifa’i berpulang ke Rahmatullah pada
tahun 1870 (pada umur 84 tahun) sewaktu diasingkan oleh Kolonial Belanda
di Kampung Jawa Tondano, Manado, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kyai Mojo. Semoga semangat perjuangan dakwah beliau yang sangat tinggi
bisa kita miliki dalam menjalankan kewajiban kita sebagai seorang
muslim. Serta semoga ia mendapat tempat yang layak di sisi-Nya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar