Senin, 04 Juni 2012

Melacak Jejak Hancurnya Batavia (1621-1942)

KEPULAUAN Nusantara merupakan surga bagi para pelancong yang datang dari berbagai belahan dunia. Tatkala bangsa Portugis datang untuk melakukan pelayaran dari Goa, Portugis menuju Malaka dengan kekuatan kira-kira 1.200 orang dan tujuh belas hinggs delapan belas buah kapal pada bulan April 1511, pelayaran itu dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque. 

Wilayah nusantara merupakan basis perdagangan rempah-rempah, seperti lada, cengkeh, kopi, dll. Kedatangan bangsa Portugis di selat Malaka menjadi sebuah ancaman bagi masyarakat pesisir, karena selain untuk berdagang mencari rempah-rempah, bangsa Portugis datang terkait dengan masalah-masalah politik luar negeri mereka.  Mereka melakukan praktek monopoli perdagangan masyarakat Nusantara secara refresif. Integritas raja-raja nusantara juga mendapat intervensi langsung dari bangsa Portugis. Bangsa Portugis menjelajah samudera dikarenakan selain menguasai teknologi perkapalan, mereka juga memiliki kemauan dan kepentingan untuk melakukan itu, dan juga adanya dorongan dari Pangeran Henry ‘Si Mualim’ (wafat tahun 1460) (Ricklefs, 2007: 32).
Bangsa Portugis akhirnya berhasil menaklukan Malaka. Alfonso de Albuquerque tinggal untuk sementara waktu di Malaka sampai bulan November 1511 M, dan selama itu bangsa Portugis membentuk pertahanan guna menghadang perlawanan dari orang Melayu yang ingin membalas dendam kepada mereka. Selain itu, Gubernur Alfonso d’Albuquerque mengutus Enrique Leme  untuk mengadakan hubungan persahabatan dengan kerajaan Sunda yang ternyata disambut baik. 
Atas kekuatan teknologi serta kemauan keras dari bangsa Portugis, akhirnya mereka mampu menghantam perlawanan orang Melayu sampai kemudian datangnya bangsa Belanda sebagai penerus aspirasi-aspirasi imperialis Portugis. Pada tahun 1595 M bangsa Belanda bersiap berlayar untuk pertama kalinya ke Hindia Timur. Dengan perbekalan yang secukupnya, mereka datang di nusantara di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan membawa empat buah kapal dan dua ratus lebih awak kapal.
Selama abad ke-16 M perdagangan rempah-rempah didominasi oleh Portugis dengan menggunakan Lisbon sebagai pelabuhan utama. Sebelum revolusi di negeri Belanda kota Antwerp memegang peranan penting sebagai distributor di Eropa Utara, akan tetapi setelah tahun 1591 Portugis melakukan kerjasama dengan firma-firma dari Jerman, Spanyol dan Italia menggunakan Hamburg sebagai pelabuhan utama sebagai tempat untuk mendistribusikan barang-barang dari Asia, memindah jalur perdagangan tidak melewati Belanda. 
Namun ternyata perdagangan yang dilakukan Portugis tidak efisien dan tidak mampu menyuplai permintaan yang terus meninggi, terutama lada. Suplai yang tidak lancar menyebabkan harga lada meroket pada saat itu. Selain itu Unifikasi Portugal dan Kerajaan Spanyol (yang sedang dalam keadaan perang dengan Belanda pada saat itu) pada tahun 1580, menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Belanda. ketiga faktor tersebutlah yang mendorong Belanda memasuki perdagangan rempah-rempah Interkontinental. Akhirnya Jan Huyghen van Linschoten dan Cornelis de Houtman menemukan “jalur rahasia” pelayaran Portugis, yang membawa pelayaran pertama Cornelis de Houtman ke Banten, pelabuhan utama di Jawa pada tahun 1595-1597.
Kedatangan Cornelis merupakan awal dari praktek imperialism Belanda di nusantara Indonesia. Pada tahap selanjutnya, Belanda dengan kongsi dagangnya, VOC, melakukan praktek monopoli ekonomi pada masyarakat nusantara. Setelah kerajaan Sunda runtuh pada 1579 M, wilayah kekuasaannya terpecah menjadi beberapa bagian. Pada perempatan pertama abad ke-17 M, wilayah Priangan jatuh ke tangan Mataram, yang kemudian dilanjutkan dengan pengangkatan para bupati oleh Sultan Mataram dengan sebutan mantra agung (Lubis, 2000: 26).

Latar Belakang Sejarah
Pada abad ke-5 M, berdasarkan catatan pelaut Cina, di ujung utara Pulau Jawa, tepatnya di muara Sungai Ciliwung, ada desa kecil nelayan serta kerajaan kecil yang bernama Holotan[1] (Ishak, 1989: 12-13). Nama Holotan berasal dari istilah Indonesia yang di-Cinakan, yakni dari kota Holotan ke Areteun. Kampong kecil di muara Sungai Ciliwung di tepi pantai tadi, itulah pelabuhan kerajaan zaman itu, yang kemudian dikenal sebagai pelabuhan Sunda Kelapa (sebelumnya Batavia). Pada tahun 452 M, Kerajaan Holotan dikuasai oleh Tarumanegara (Tolomo dalam dialek Cina). Masuk abad ke-7 M, dan nama kerajaan Sriwijawa disebut-sebut, Sunda Kelapa semakin penting. Lalu lintas maritime dunia melewati Selat Bangka dan Sumatera, dalam pelayaran ke Sunda Kelapa.
Batavia merupakan nama yang diberikan oleh orang Belanda pada kota yang sekarang bernama Jakarta, ibu kota Indonesia. Kota ini merupakan satu pelabuhan penting yang menjadi basis perdagangan dan kubu militer VOC, sebuah kongsi dagang Belanda yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602. Nama Batavia dipakai sejak sekitar tahun 1621 sampai tahun 1942, setelah itu nama kota berubah menjadi Jakarta. Tetapi bentuknya dalam bahasa Melayu, yaitu “Betawi”, masih tetap dipakai sampai sekarang. Nama Batavia berasal dari kata Batavieren, salah satu nama suku di Belanda atau suku bangsa Jerman yang bermukim di tepi Sungai Rhein yang kini dihuni oleh orang Belanda.
Dalam buku Petunjuk Museum Sejarah Jakarta, diceritakan bahwa keberadaan masa prasejarah Jakarta dibuktikan dengan benda-benda peninggalan masa lampau yang ditemukan  di sepanjang tepi sungai Ciliwung, Buni, Kelapa Dua, dan Bukit Kucong, seperti kapak batu serpih bilah, gerabah, manik-manik, kapak perungu dan beberapa fragmen (Pemrov DKI Jakarta, 2010: 11). Pada masa selanjutnya, Jakarta tempo dulu (Sunda Kelapa) merupakan satu periode dimana kebudayaannya mencerminkan perpaduan antara unsur budaya India dengan budaya Indonesia (Indianisasi). Pengaruhnya Nampak pada penulisan prasasti yang banyak menggunakan huruf Pallawa, ditulis dalam bentuk puisi berirama (sajak) Anustubh dan bahasanya menggunakan bahasa Sangsekerta.
Pelabuhan Sunda Kelapa muncul pada awal abad ke-14 M yang dikenal sebagai bekas pelabuhan dari daerah kerajaan Tarumanegara. Sunda Kelapa juga merupakan salah satu dari enam buah[2] pelabuhan penting milik kerajaan Sunda yang saat ini ibu kotanya terletak kira-kira di daerah Bogor, Jawa Barat. Pada awal abad ke-14 dan ke-16, Sunda Kelapa merupakan satu pelabuhan ramai yang terletak di muara Sungai Ciliwung. Pelabuhan  Sunda Kelapa banyak didatangi oleh para pedagang dari Sumatera, Malaka, Jawa, Madura, bahkan dari daratan Asia.

Kedatangan Belanda di Jayakarta (1610 M)
Pada tahun 1522 ketika Sunda Kelapa masih di bawah kekuasaan Raja Sunda Pajajaran, telah terjadi perjanjian dengan Portugis yang isinya menyatakan bahwa Portugis boleh mendirikan benteng di Sunda Kelapa (yang selanjutnya menjadi wilayah Batavia). Ketika mereka hendak kembali ke Sunda Kekapa dari Malaka, mereka tidak berhasil merealisasikan perjanjian itu karena mendapat serangan dari Fatahillah dan pasukan muslim lainnya yang berasal dari Banten. Kemenangan Fatahillah ini secara otomatis menjadikan Sunda Kelapa berubah fungsi dan nama menjadi Jayakarta.
Sesudah Jayakarta dikuasai oleh Fatahillah, beliau segera menyerahkan tampu kekuasaan politik kepada Tubagus Angke pada tahun 1552. Fatahillah sendiri kembali ke Demak dan kemudian menetap di Cirebon hingga wafat tahun 1570 M. Selepas Tubagus Angke mangkir dari jabatan penguasa Jayakarta, ia menyerahkan kekuasaannya kepada putranya yang bernama Pangeran Jayakarta. Ada satu realitas yang berbalik. Sebelum dikuasai oleh Pangeran Jayakarta, pelabuhan Sunda Kelapa cukup ramai didatangi oleh berbagai pelancong dari Sumatera dan Asia Daratan. Tetapi pada masa pemerintahannya, Bantenlah yang menjadi ramai disinggahi oleh para pedagang luar. Pada kesempatan inilah, Belanda tertarik untuk masuk ke Nusantara, di Banten. Namun, kehadiran Belanda tidak disukai oleh masyarakat di sana karena berbagai alasan penting. Akhirnya Belanda pindah posisi untuk masuk ke wilayah Jayakarta pada tahun 1610 (Ishak, 1989: 17).
Pieter Both yang memimpin ekspedisi Belanda, dengan berbekal surat legitimasi dari Sultan Banten, akhirnya berhasil masuk dan menempati wilayah Jayakarta. Pada masa itu, Jayakarta masih dikuasai oleh Pangeran Jayakarta, anak dari Tubagus Angke, penguasa pertama Jayakarta. Kantor pertama dari sarikat dagang Belanda, VOC, didirikan di wilayah yang tak jauh dari kampung orang Cina, di tanah dekat muara Ciliwung. Pada tahap selanjutnya, Belanda dengan akal bulusnya menyerang dan hendak menjadikan wilayah Jayakarta sebagai daerah kekuasaan mereka. Penyerangan ini dipimpin oleh Jan Pieterzoon Coen. Namun, sial. Penyerangannya gagal dan akhirnya pasukan Coen melarikan diri ke daerah Maluku.
Perkembangan Kota Batavia Pada Masa Coen dan Dieman
Pada tanggal 30 Mei 1619, Coen kembali dari Maluku ke Jayakarta untuk menyerang dengan berbekal seribu serdadu yang diangkut 16 buah kapal. Pada penyerangan ini, Coen[3] berhasil membungi hanguskan dan menduduki Jayakarta, sehingga ia merubah Jayakarta menjadi Jiew Horn. Namun, sepeninggal Coen, kota ini diganti lagi menjadi batafier, yang berasal dari kata Batavieren, yaitu nama leluhur bangsa Belanda. Pada tahap selanjutnya, Batavieren berubah namanya menjadi Batavia (pada saat ini dikenal dengan istilah Betawi) (Ishak, 1989:  19).
Peristiwa inilah awal dibangunnya kembali kota Jakarta oleh Belanda. Lalu seterusnya, dari semula menguasai tanah loji di muara Sungai Ciliwung tahun 1620 seluas 560 meter persegi. Batavia terus dibangun oleh Belanda. Bahkan pusat kantor VOC di Ambon, dipindahkan ke Batavia. Wilayah ini dianggap strategis dan menguntungkan pihak Belanda dalam kancah perdagangan dan perpolitikan internasional masa itu. Pelabuhan di Batavia menjadi pusat yang paling baik kualitasnya dan ramai pengunjungnya. Semasa Coen, kota Batavia terus menerus mengalami pembangunan di segala bidang. Banyak bangunan-bangunan permanen didirikan di wilayah ini. Penataan kota diatur sedemikian rupa.
Tahun 1629 Coen membangun gedung Museum Sejarah Jakarta, yang letaknya berdampingan dengan Museum POS dan Museum Wayang, serta Museum Keramik. Perkembangan kota Batavia di bawah kekuasaan Coen semakin pesat. Sempat ketika tahun 1627 dan 1629, Sultan Agung Mataram mencoba menyerang dan merebut Batavia dari J.P. Coen, namun kedua operasi itu tidak berhasil dikarenakan kuatnya serdadu Belanda yang menjaga Batavia.  Sepeninggal Coen (w. 1629 di Batavia), Antonio van Dieman mengambil alih posisi penguasa di Batavia. Ia berkuasa dari tahun 1636 hingga tahun 1645. Kota Batavia , sejak zaman Coen dan Dieman, terus mengalami perkembangan menurut kebutuhan pada masanya. Arsitektur kota kebanyakan mengikuti gaya Eropa adab pertengahan (gothic oriented). Nama gedung, jalan, bangunan, dll, diberi nama Belanda. Hal ini dilakukan sebagai usaha dalam mencitrakan Coen dan Dieman sebagai mantan penguasa Batavia dari Belanda di Indonesia.
Pada abad ke-18, Kota Batavia semakin memperlihatkan keelokannya sebagai sebuah kota politik milik Belanda. Namun, sayang kota Batavia mengalami beberapa kali musibah. Terjadi gempa bumi, datangnya penyakit malaria, typus, kolera, dan penyakit mematikan lainnya, sampai-sampai banyak dari penduduk yang mengungsi ke luar Batavia. Peristiwa yang paling menyedihkan dan merupakan satu sebab runtuhnya Batavia tahun 1942, ialah terjadinya kerusuhan yang terus-menerus. Terjadi dua kali pemberontakan (kerusuhan). Pertama pada 23 Januari 1722. Seorang keturunan Jerman-Siam, Pieter Erbefeld, memberontak kepada VOC di Batavia karena tanah milik orang tuanya di rampas oleh VOC. Dalam hal ini keterlibatan oknum pejabat internal VOC menjadi awal mula hancurnya kongsi dagang Belanda ini. Namun, serangan Pieter mengalami kegagalan. Akibatnya, ia dan beberapa teman sejawatnya ditangkap dan dijatuhi hukuman.  Mereka dijepit dengan papan, kemudian diseret dengan kuda. Badannya hancur dan kepalanya dipancung. Menurut cerita, tengkoraknya ditancapkan pada tembok pintu gerbang tanah miliknya. Tempat tengkorak Pieter kemudian tidak boleh diganggu karena larangan pihak pemerintah Belanda (Ishak, 1989: 25).
Kedua, pada tahun 1742 terjadi lagi pemberontakan oleh Cina pendatang, Watting. Penyebabnya adalah pembatasan-pembatasan, peraturan, dan pajak dari Belanda yang semakin ketat atas kaun Cina yang kamin ramai mengunjungi Batavia sebagai imigran. Belanda dalam hal ini VOC bermaksud mengatur kaum Cina karena seringnya terjadi gangguan social, perampokan dan pembunuhan. Sebagaimana sudah dikatakan, Batavia mengalami berbagai macam bencana. Selain terjadi pemberontakan, di Batavia sering dilanda bencana alam yang dating silih berrganti. Banyak bangunan baru yang hancur dan rusak yang menyebabkan kota Batavia berubah menjadi tumpukan puing. Hingga akhir abad ke-17 Batavia terus menerus mengalami jatuh bangun yang cukup parah. Namun setelah guncangan  badai reda, kota dibangun lagi dan berkembang dengan pesat.

[1] Kerajaan Holotan sudah ada sebelum Kerajaan Tarumanegara dikenal dalam sejarah. Pada masa itu berkali-kali utusan dari negeri Cina datang ke Holotan.
[2] Pelabuhan lainnya adalah Banten, Pontang, Tamara, Cigede, dan Cimanuk.
[3] Jan Pieterszoon Coen lahir di Hoorn, Belanda pada tanggal 8 Januari 1587, dan meninggal di Batavia, Indonesia, tanggal 21 September 1629 pada saat umur 42 tahun. Ia adalah Gubernur-Jendral Hindia-Belanda yang keempat dan keenam. Pada masa jabatan pertama ia memerintah antara tahun 1619 – 1623, masa jabatan yang kedua berlangsung antara tahun 1627 – 1629. J.P. Coen dikenang sebagai pendiri Hindia-Belanda di Belanda. Namanya banyak dipakai sebagai nama-nama jalan dan bahkan di Amsterdam ada sebuah gedung yang dinamai dengan namanya (Coengebouw). Sebaliknya, di Indonesia ia terutama dikenal sebagai seorang pembesar Kompeni yang kejam.[]

Kepustakaan
Ishak, Hikmat, “Panduan Wisata Indonesia : JAKARTA,” Bali Intermedia, Jakarta, 1989
Ricklefs, “SEJARAH INDONESIA MODERN,” Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, “Petunjuk Museum Sejarah Jakarta (Instruction Jakarta History Museum)”, Museum Sejarah Jakarta, Jakarta, 2010
Danasasmita, Saleh, “Sejarah Bogor Bagian I”, Guna Kawi Gapura Jagat, Bogor, 1983
Lombard, Denys, “Nusa Jawa: Silang Budaya 1” Gramedia, Jakarta, 2008
Lubis, Nina, H., “Tradisi & Transformasi Sejarah Sunda” Humaniora, Bandung, 2000


Tidak ada komentar:

Posting Komentar