KEPULAUAN Nusantara merupakan surga bagi para pelancong yang datang dari berbagai belahan dunia. Tatkala bangsa Portugis datang untuk melakukan pelayaran dari Goa, Portugis menuju Malaka
dengan kekuatan kira-kira 1.200 orang dan tujuh belas hinggs delapan
belas buah kapal pada bulan April 1511, pelayaran itu dipimpin oleh
Alfonso de Albuquerque.
Wilayah nusantara merupakan basis perdagangan
rempah-rempah, seperti lada, cengkeh, kopi, dll. Kedatangan
bangsa Portugis di selat Malaka menjadi sebuah ancaman bagi masyarakat
pesisir, karena selain untuk berdagang mencari rempah-rempah, bangsa
Portugis datang terkait dengan masalah-masalah politik luar negeri
mereka. Mereka melakukan praktek monopoli perdagangan masyarakat Nusantara
secara refresif. Integritas raja-raja nusantara juga mendapat
intervensi langsung dari bangsa Portugis. Bangsa Portugis menjelajah
samudera dikarenakan selain menguasai teknologi perkapalan, mereka juga
memiliki kemauan dan kepentingan untuk melakukan itu, dan juga adanya
dorongan dari Pangeran Henry ‘Si Mualim’ (wafat tahun 1460) (Ricklefs,
2007: 32).
Bangsa
Portugis akhirnya berhasil menaklukan Malaka. Alfonso de Albuquerque
tinggal untuk sementara waktu di Malaka sampai bulan November 1511 M,
dan selama itu bangsa Portugis membentuk pertahanan guna menghadang
perlawanan dari orang Melayu yang ingin membalas dendam kepada mereka.
Selain itu, Gubernur Alfonso d’Albuquerque mengutus Enrique Leme untuk
mengadakan hubungan persahabatan dengan kerajaan Sunda yang ternyata
disambut baik.
Atas kekuatan teknologi serta kemauan keras dari bangsa
Portugis, akhirnya mereka mampu menghantam perlawanan orang Melayu
sampai kemudian datangnya bangsa Belanda sebagai penerus
aspirasi-aspirasi imperialis Portugis. Pada tahun 1595 M bangsa Belanda
bersiap berlayar untuk pertama kalinya ke Hindia Timur. Dengan
perbekalan yang secukupnya, mereka datang di nusantara di bawah pimpinan
Cornelis de Houtman dengan membawa empat buah kapal dan dua ratus lebih awak kapal.
Selama abad ke-16 M perdagangan
rempah-rempah didominasi oleh Portugis dengan menggunakan Lisbon sebagai
pelabuhan utama. Sebelum revolusi di negeri Belanda kota Antwerp
memegang peranan penting sebagai distributor di Eropa Utara, akan tetapi
setelah tahun 1591 Portugis melakukan kerjasama dengan firma-firma dari
Jerman, Spanyol dan Italia menggunakan Hamburg sebagai pelabuhan utama
sebagai tempat untuk mendistribusikan barang-barang dari Asia, memindah
jalur perdagangan tidak melewati Belanda.
Namun ternyata perdagangan
yang dilakukan Portugis tidak efisien dan tidak mampu menyuplai
permintaan yang terus meninggi, terutama lada. Suplai yang tidak lancar
menyebabkan harga lada meroket pada saat itu. Selain itu Unifikasi
Portugal dan Kerajaan Spanyol (yang sedang dalam keadaan perang dengan
Belanda pada saat itu) pada tahun 1580, menimbulkan kekhawatiran
tersendiri bagi Belanda. ketiga faktor tersebutlah yang mendorong
Belanda memasuki perdagangan rempah-rempah Interkontinental. Akhirnya Jan Huyghen van Linschoten
dan Cornelis de Houtman menemukan “jalur rahasia” pelayaran Portugis,
yang membawa pelayaran pertama Cornelis de Houtman ke Banten, pelabuhan
utama di Jawa pada tahun 1595-1597.
Kedatangan Cornelis merupakan awal dari
praktek imperialism Belanda di nusantara Indonesia. Pada tahap
selanjutnya, Belanda dengan kongsi dagangnya, VOC, melakukan praktek
monopoli ekonomi pada masyarakat nusantara. Setelah kerajaan Sunda
runtuh pada 1579 M, wilayah kekuasaannya terpecah menjadi beberapa
bagian. Pada perempatan pertama abad ke-17 M, wilayah Priangan jatuh ke
tangan Mataram, yang kemudian dilanjutkan dengan pengangkatan para
bupati oleh Sultan Mataram dengan sebutan mantra agung (Lubis, 2000:
26).
Latar Belakang Sejarah
Pada abad ke-5 M, berdasarkan catatan pelaut Cina, di ujung utara Pulau Jawa, tepatnya di muara Sungai Ciliwung, ada desa kecil nelayan serta kerajaan kecil yang bernama Holotan[1]
(Ishak, 1989: 12-13). Nama Holotan berasal dari istilah Indonesia yang
di-Cinakan, yakni dari kota Holotan ke Areteun. Kampong kecil di muara
Sungai Ciliwung di tepi pantai tadi, itulah pelabuhan kerajaan zaman
itu, yang kemudian dikenal sebagai pelabuhan Sunda Kelapa
(sebelumnya Batavia). Pada tahun 452 M, Kerajaan Holotan dikuasai oleh
Tarumanegara (Tolomo dalam dialek Cina). Masuk abad ke-7 M, dan nama
kerajaan Sriwijawa disebut-sebut, Sunda Kelapa semakin penting. Lalu
lintas maritime dunia melewati Selat Bangka dan Sumatera, dalam
pelayaran ke Sunda Kelapa.
Batavia merupakan nama yang diberikan
oleh orang Belanda pada kota yang sekarang bernama Jakarta, ibu kota
Indonesia. Kota ini merupakan satu pelabuhan penting yang menjadi basis
perdagangan dan kubu militer VOC, sebuah kongsi dagang Belanda yang
didirikan pada tanggal 20 Maret 1602. Nama Batavia dipakai sejak sekitar
tahun 1621 sampai tahun 1942, setelah itu nama kota berubah menjadi
Jakarta. Tetapi bentuknya dalam bahasa Melayu, yaitu “Betawi”, masih
tetap dipakai sampai sekarang. Nama Batavia berasal dari kata
Batavieren, salah satu nama suku di Belanda atau suku bangsa Jerman yang
bermukim di tepi Sungai Rhein yang kini dihuni oleh orang Belanda.
Dalam buku Petunjuk Museum Sejarah
Jakarta, diceritakan bahwa keberadaan masa prasejarah Jakarta dibuktikan
dengan benda-benda peninggalan masa lampau yang ditemukan di sepanjang
tepi sungai Ciliwung, Buni, Kelapa Dua, dan Bukit Kucong, seperti kapak batu serpih bilah, gerabah, manik-manik, kapak perungu dan beberapa fragmen (Pemrov DKI Jakarta,
2010: 11). Pada masa selanjutnya, Jakarta tempo dulu (Sunda Kelapa)
merupakan satu periode dimana kebudayaannya mencerminkan perpaduan
antara unsur budaya India dengan budaya Indonesia (Indianisasi).
Pengaruhnya Nampak pada penulisan prasasti yang banyak menggunakan huruf
Pallawa, ditulis dalam bentuk puisi berirama (sajak) Anustubh dan bahasanya menggunakan bahasa Sangsekerta.
Pelabuhan Sunda Kelapa muncul pada awal
abad ke-14 M yang dikenal sebagai bekas pelabuhan dari daerah kerajaan
Tarumanegara. Sunda Kelapa juga merupakan salah satu dari enam buah[2]
pelabuhan penting milik kerajaan Sunda yang saat ini ibu kotanya
terletak kira-kira di daerah Bogor, Jawa Barat. Pada awal abad ke-14 dan
ke-16, Sunda Kelapa merupakan satu pelabuhan ramai yang terletak di
muara Sungai Ciliwung. Pelabuhan Sunda Kelapa banyak didatangi oleh
para pedagang dari Sumatera, Malaka, Jawa, Madura, bahkan dari daratan
Asia.
Kedatangan Belanda di Jayakarta (1610 M)
Pada tahun 1522 ketika Sunda Kelapa masih
di bawah kekuasaan Raja Sunda Pajajaran, telah terjadi perjanjian
dengan Portugis yang isinya menyatakan bahwa Portugis boleh mendirikan
benteng di Sunda Kelapa (yang selanjutnya menjadi wilayah Batavia).
Ketika mereka hendak kembali ke Sunda Kekapa dari Malaka, mereka tidak
berhasil merealisasikan perjanjian itu karena mendapat serangan dari
Fatahillah dan pasukan muslim lainnya yang berasal dari Banten.
Kemenangan Fatahillah ini secara otomatis menjadikan Sunda Kelapa
berubah fungsi dan nama menjadi Jayakarta.
Sesudah Jayakarta dikuasai oleh
Fatahillah, beliau segera menyerahkan tampu kekuasaan politik kepada
Tubagus Angke pada tahun 1552. Fatahillah sendiri kembali ke Demak dan
kemudian menetap di Cirebon hingga wafat tahun 1570 M. Selepas Tubagus
Angke mangkir dari jabatan penguasa Jayakarta, ia menyerahkan
kekuasaannya kepada putranya yang bernama Pangeran Jayakarta. Ada satu
realitas yang berbalik. Sebelum dikuasai oleh Pangeran Jayakarta,
pelabuhan Sunda Kelapa cukup ramai didatangi oleh berbagai pelancong
dari Sumatera dan Asia Daratan. Tetapi pada masa pemerintahannya,
Bantenlah yang menjadi ramai disinggahi oleh para pedagang luar. Pada
kesempatan inilah, Belanda tertarik untuk masuk ke Nusantara, di Banten.
Namun, kehadiran Belanda tidak disukai oleh masyarakat di sana karena
berbagai alasan penting. Akhirnya Belanda pindah posisi untuk masuk ke
wilayah Jayakarta pada tahun 1610 (Ishak, 1989: 17).
Pieter Both yang memimpin ekspedisi
Belanda, dengan berbekal surat legitimasi dari Sultan Banten, akhirnya
berhasil masuk dan menempati wilayah Jayakarta. Pada masa itu, Jayakarta
masih dikuasai oleh Pangeran Jayakarta, anak dari Tubagus Angke,
penguasa pertama Jayakarta. Kantor pertama dari sarikat dagang Belanda,
VOC, didirikan di wilayah yang tak jauh dari kampung orang Cina, di
tanah dekat muara Ciliwung. Pada tahap selanjutnya, Belanda dengan akal
bulusnya menyerang dan hendak menjadikan wilayah Jayakarta sebagai
daerah kekuasaan mereka. Penyerangan ini dipimpin oleh Jan Pieterzoon
Coen. Namun, sial. Penyerangannya gagal dan akhirnya pasukan Coen
melarikan diri ke daerah Maluku.
Perkembangan Kota Batavia Pada Masa Coen dan Dieman
Pada tanggal 30 Mei 1619, Coen kembali
dari Maluku ke Jayakarta untuk menyerang dengan berbekal seribu serdadu
yang diangkut 16 buah kapal. Pada penyerangan ini, Coen[3] berhasil membungi hanguskan dan menduduki Jayakarta, sehingga ia merubah Jayakarta menjadi Jiew Horn. Namun, sepeninggal Coen, kota ini diganti lagi menjadi batafier, yang
berasal dari kata Batavieren, yaitu nama leluhur bangsa Belanda. Pada
tahap selanjutnya, Batavieren berubah namanya menjadi Batavia (pada saat
ini dikenal dengan istilah Betawi) (Ishak, 1989: 19).
Peristiwa inilah awal dibangunnya kembali
kota Jakarta oleh Belanda. Lalu seterusnya, dari semula menguasai tanah
loji di muara Sungai Ciliwung tahun 1620 seluas 560 meter persegi.
Batavia terus dibangun oleh Belanda. Bahkan pusat kantor VOC di Ambon,
dipindahkan ke Batavia. Wilayah ini dianggap strategis dan menguntungkan
pihak Belanda dalam kancah perdagangan dan perpolitikan internasional
masa itu. Pelabuhan di Batavia menjadi pusat yang paling baik
kualitasnya dan ramai pengunjungnya. Semasa Coen, kota Batavia terus
menerus mengalami pembangunan di segala bidang. Banyak bangunan-bangunan
permanen didirikan di wilayah ini. Penataan kota diatur sedemikian
rupa.
Tahun 1629 Coen membangun gedung Museum
Sejarah Jakarta, yang letaknya berdampingan dengan Museum POS dan Museum
Wayang, serta Museum Keramik. Perkembangan kota Batavia di bawah
kekuasaan Coen semakin pesat. Sempat ketika tahun 1627 dan 1629, Sultan
Agung Mataram mencoba menyerang dan merebut Batavia dari J.P. Coen,
namun kedua operasi itu tidak berhasil dikarenakan kuatnya serdadu
Belanda yang menjaga Batavia. Sepeninggal Coen (w. 1629 di Batavia),
Antonio van Dieman mengambil alih posisi penguasa di Batavia. Ia
berkuasa dari tahun 1636 hingga tahun 1645. Kota Batavia , sejak zaman Coen dan Dieman, terus mengalami perkembangan
menurut kebutuhan pada masanya. Arsitektur kota kebanyakan mengikuti
gaya Eropa adab pertengahan (gothic oriented). Nama gedung, jalan,
bangunan, dll, diberi nama Belanda. Hal ini dilakukan sebagai usaha
dalam mencitrakan Coen dan Dieman sebagai mantan penguasa Batavia dari
Belanda di Indonesia.
Pada abad ke-18, Kota Batavia semakin
memperlihatkan keelokannya sebagai sebuah kota politik milik Belanda.
Namun, sayang kota Batavia mengalami beberapa kali musibah. Terjadi
gempa bumi, datangnya penyakit malaria, typus, kolera, dan penyakit
mematikan lainnya, sampai-sampai banyak dari penduduk yang mengungsi ke
luar Batavia. Peristiwa yang paling menyedihkan dan merupakan satu sebab
runtuhnya Batavia tahun 1942, ialah terjadinya kerusuhan yang
terus-menerus. Terjadi dua kali pemberontakan (kerusuhan). Pertama pada
23 Januari 1722. Seorang keturunan Jerman-Siam, Pieter Erbefeld,
memberontak kepada VOC di Batavia karena tanah milik orang tuanya di
rampas oleh VOC. Dalam hal ini keterlibatan oknum pejabat internal VOC
menjadi awal mula hancurnya kongsi dagang Belanda ini. Namun, serangan
Pieter mengalami kegagalan. Akibatnya, ia dan beberapa teman sejawatnya
ditangkap dan dijatuhi hukuman. Mereka dijepit dengan papan, kemudian
diseret dengan kuda. Badannya hancur dan kepalanya dipancung. Menurut
cerita, tengkoraknya ditancapkan pada tembok pintu gerbang tanah
miliknya. Tempat tengkorak Pieter kemudian tidak boleh diganggu karena
larangan pihak pemerintah Belanda (Ishak, 1989: 25).
Kedua, pada tahun 1742 terjadi lagi
pemberontakan oleh Cina pendatang, Watting. Penyebabnya adalah
pembatasan-pembatasan, peraturan, dan pajak dari Belanda yang semakin
ketat atas kaun Cina yang kamin ramai mengunjungi Batavia sebagai
imigran. Belanda dalam hal ini VOC bermaksud mengatur kaum Cina karena
seringnya terjadi gangguan social, perampokan dan pembunuhan.
Sebagaimana sudah dikatakan, Batavia mengalami berbagai macam bencana.
Selain terjadi pemberontakan, di Batavia sering dilanda bencana alam
yang dating silih berrganti. Banyak bangunan baru yang hancur dan rusak
yang menyebabkan kota Batavia berubah menjadi tumpukan puing. Hingga
akhir abad ke-17 Batavia terus menerus mengalami jatuh bangun yang cukup
parah. Namun setelah guncangan badai reda, kota dibangun lagi dan
berkembang dengan pesat.
[1]
Kerajaan Holotan sudah ada sebelum Kerajaan Tarumanegara dikenal dalam
sejarah. Pada masa itu berkali-kali utusan dari negeri Cina datang ke
Holotan.
[2] Pelabuhan lainnya adalah Banten, Pontang, Tamara, Cigede, dan Cimanuk.
[3]
Jan Pieterszoon Coen lahir di Hoorn, Belanda pada tanggal 8 Januari
1587, dan meninggal di Batavia, Indonesia, tanggal 21 September 1629
pada saat umur 42 tahun. Ia adalah Gubernur-Jendral Hindia-Belanda yang
keempat dan keenam. Pada masa jabatan pertama ia memerintah antara tahun
1619 – 1623, masa jabatan yang kedua berlangsung antara tahun 1627 –
1629. J.P. Coen dikenang sebagai pendiri Hindia-Belanda di Belanda.
Namanya banyak dipakai sebagai nama-nama jalan dan bahkan di Amsterdam
ada sebuah gedung yang dinamai dengan namanya (Coengebouw). Sebaliknya, di Indonesia ia terutama dikenal sebagai seorang pembesar Kompeni yang kejam.[]
Kepustakaan
Ishak, Hikmat, “Panduan Wisata Indonesia : JAKARTA,” Bali Intermedia, Jakarta, 1989
Ricklefs, “SEJARAH INDONESIA MODERN,” Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, “Petunjuk Museum Sejarah Jakarta (Instruction Jakarta History Museum)”, Museum Sejarah Jakarta, Jakarta, 2010
Danasasmita, Saleh, “Sejarah Bogor Bagian I”, Guna Kawi Gapura Jagat, Bogor, 1983
Lombard, Denys, “Nusa Jawa: Silang Budaya 1” Gramedia, Jakarta, 2008
Lubis, Nina, H., “Tradisi & Transformasi Sejarah Sunda” Humaniora, Bandung, 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar