Namun sayangnya, budaya menulis itu belum tumbuh dengan baik. Terbukti, kalangan kampus yang aktif menulis di media cetak, bisa dibilang itu-itu saja. Jumlahnya relatif sangat terbatas. Penulis-penulis baru nyaris tak terlihat. Kalaupun lahir sungguh sangat terbatas. Bahkan boleh jadi, dari satu perguruan tinggi, dalam satu tahun hanya lahir satu atau dua penulis baru.
Lahirnya satu atau dua penulis baru dari
lingkungan perguruan tinggi ini, juga tidak merata. Bahkan sangat
mungkin jadi, lebih banyak perguruan tinggi yang belum mampu melahirkan
seorang penulis pun. Simak dan cermati saja di berbagai media cetak:
kalangan akademisi mana saja yang biasa menulis di media cetak dan
kalangan akademisi mana saja yang sama sekali belum muncul.
Budaya menulis di kalangan masyarakat kampus
sebenarnya telah dirintis sejak mahasiswa tingkat satu. Dari mulai
kewajiban membuat makalah, paper, kertas kerja, hingga laporan
penelitian. Namun upaya ini tampaknya tidak banyak membuahkan hasil.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis, tidak berdampaknya rintisan budaya
menulis melalui tugas perkuliahan di atas karena beberapa sebab.
Satu di antara penyebabnya yakni budaya
jiplak yang kronis. Ambil contoh ketika mahasiswa diberi tugas untuk
membuat makalah. Sebagai pengajar kita bisa terkagum-kagum, karena isi
makalahnya luar biasa hebatnya. Ide dan pemikiran yang ada di makalah
itu sungguh luar biasa untuk ukuran mahasiswa. Namun sayangnya, setelah
dilakukan pengecekan referensi, ternyata isi makalahnya banyak yang
sekadar memindahkan begitu saja dari buku-buku yang mereka jadikan
rujukan.
Tak heran bila isi makalah sang mahasiswa
itu sangat luar biasa. Betapa tidak, karena ide dan pemikirannya yang
terdapat di makalah tersebut adalah ide dan pemikiran para profesor dan
doktor yang mereka ‘kutip’ dari beragam buku. Budaya buruk di atas,
jelas memunculkan paradoks antara niatan untuk menumbuhkan budaya
menulis dengan realitas jiplak-menjiplak yang semakin kronis.
Realitas tersebut tentu saja tak berarti
kewajiban mahasiswa untuk membuat makalah atau paper itu dihapuskan.
Yang perlu diluruskan adalah bagaimana para mahasiswa itu didorong untuk
menulis makalah dan paper dengan ide dan pemikirannya yang orisinal,
bukan jiplakan. Adapun pemikiran para profesor doktor yang kerap mereka
‘kutip’ mestinya hanya sebatas penguat argumen di dalam menulis makalah.
Menumbuhkan keberanian para mahasiswa di
dalam menuangkan ide dan gagasannya, juga layak mendapat perhatian para
pengajar di lingkungan perguruan tinggi. Selama ini, tak sedikit para
dosen, yang terjebak pada pemahaman yang salah kaprah tentang kualitas
sebuah makalah. Makalah yang baik kerap diidentikkan dengan banyaknya
kutipan, dan banyaknya buku rujukan. Bukan menilai sejauhmana
orisinalitas ide dan pemikiran para penulis makalah itu.
Para dosen sudah saatnya mendorong para
mahasiswa untuk berani membuat makalah dengan ide dan pemikiran yang
orisinal. Para pengajar pun harus berani memberikan teguran keras
terhadap mahasiswa-mahasiswa yang membuat makalah dengan cara menjiplak
mentah-mentah.
Di sisi lain, para pengajar di perguruan
tinggi juga harus mendorong para mahasiswanya untuk terbiasa menulis di
media massa. Dorongan ini, tentunya, harus dilakukan dengan bentuk yang
konkrit. Misalnya, berani memberi nilai plus atau kredit point bagi
mahasiswa yang terbukti mampu menulis di media massa. Upaya ini belum
banyak dilakukan, kalaupun ada, baru satu dua dosen saja.
Pola di atas, diyakini akan mampu mendorong
budaya menulis di kalangan mahasiswa. Upaya ini tentu akan lebih baik
bila kalangan akademisi juga memberikan contoh riil dengan membiasakan
diri menulis untuk media massa. Ini akan menjadi stimulan cukup baik
bagiu tumbuhnya para penulis dari kalangan mahasiswa.
Untuk menumbuhkan budaya menulis di
lingkungan para dosen, tentunya pula harus ada ‘perhatian khusus’ dari
para petinggi di perguruan tinggi masing-masing. Selama ini, nyaris di
berbagai perguruan tinggi di negeri ini, tak ada perhatian khusus
terhadap para akademisinya yang aktif menulis di media massa. Yang
mungkin ada, baru sebatas kredit point untuk mempercepat kenaikan
golongan. Mungkin jadi butuh ‘perhatian khusus’ yang lebih baik lagi.
Tumbuhnya budaya menulis di kalangan dosen
akan menjadi stimulan penting bagi lahirnya budaya menulis di kalangan
mahasiswa. Karena boleh jadi, tak banyaknya para mahasiswa yang aktif
menulis untuk media massa, juga akibat minimnya dosen yang aktif menulis
di media massa.
Kebiasaan menulis, baik bagi kalangan dosen
maupun mahasiswa, akan memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan
kualitas intelektualitas masing-masing. Karena bagaimanapun, untuk
menulis sebuah tulisan membutuhkan langkah-langkah persiapan yang
matang. Dari mulai penggalian ide, pengumpulan bahan, pendalaman materi,
hingga pengemasan tulisan. Bahkan, yang namanya membaca bagi seorang
penulis adalah wajib. Tanpa banyak membaca, selain akan kering ide, juga
jangan harap tulisan-tulisannya berbobot.
Dalam konteks seperti itulah, tidak aneh
bila tingkat kecerdasan dan kekritisan antara dosen atau mahasiswa yang
suka menulis dengan dosen atau mahasiswa yang tidak pernah menulis akan
terlihat mencolok. Para penulis dari kelompok dan kalangan profesi
manapun relatif memiliki tingkat kekritisan yang lebih baik dibanding
mereka yang tidak pernah menulis.
Langkah yang tak kalah pentingnya di dalam
menumbuhkan budaya menulis adalah kesediaan media massa untuk
menyediakan rubrik-rubrik khusus bagi mereka yang masuk kategori penulis
pemula. Kelompok penulis pemula, diakui atau tidak, butuh ‘tempat
khusus’ yang kriteria layak muatnya tidak terlalu berat. Langkah HU.
Pikiran Rakyat dengan menyediakan rubrik “Forum Guru” dan “Mimbar” harus
diakui akan menumbuhkan budaya menulis. “Forum Guru” akan mendorong
minat kalangan “Oemar Bakri” untuk menulis, menuangkan ide-ide
briliannya secara terstruktur dan sistematis. “Mimbar” juga akan
mendorong lahirnya penulis-penulis baru dari lingkungan kampus, baik itu
dosen maupun mahasiswa.
Kehadiran dua rubrik baru tersebut merupakan
andil yang sangat besar bagi kelahiran penulis-penulis baru dari
kalangan guru, dosen, dan mahasiswa. Mereka, untuk sementara, memang
butuh “tempat khusus”, belum bisa “dikompetisikan” dengan
penulis-penulis lama di rubrik opini yang terbuka untuk umum.
Mengapa mereka butuh “tempat khusus”?
Karena, mereka umumnya adalah penulis pemula yang memiliki semangat
besar, tapi mempunyai mentalitas kepenulisan yang rendah. Pengamatan
selintas yang penulis lakukan membuktikan bahwa kelompok di atas umumnya
memiliki semangat menulis yang tinggi, dan menggebu-gebu. Namun dilihat
dari sisi mentalitas mereka belum siap bila naskahnya banyak ditolak.
Penolakan beruntun dari media massa kerap membuat kelompok ini patah
arang, dan merasa tak mampu untuk menjadi penulis. Akhirnya dapat
diterka, berhentilah ia menulis.
Menyimak gejala tersebut masih menghinggapi
kelompok penulis pemula, maka lahirnya dua rubrik baru yang disediakan
Pikiran Rakyat akan turut membantu bagi penguatan mentalitas penulis
pemula. Dua rubrik ini, menurut penulis, bagi Pikiran Rakyat juga tidak
akan merugikan. Dari sisi idealisme, jelas akan membantu lahirnya
penulis-penulis handal yang brilian, cerdas dan arif. Dari sisi bisnis,
tentunya juga, akan membantu peningkatan oplag media ini. Paling tidak,
kelompok mahasiswa, dosen, dan guru akan semakin respek untuk
berlangganan.***
Enjang Muhaemin, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar