Rabu, 13 Juni 2012

Sosialisasi Digital

BERAWAL dari proyek Departemen Pertahanan Amerika Serikat tahun 1960-an, yang bernama APRANET (Advanced Research Project Agency Network) dengan ide menghubungkan komputer satu dengan komputer lain pada lokasi berbeda. Singkat cerita, komputer yang dialokasikan di setiap tempat berhasil terhubung secara reversible untuk berbagai keperluan. Hingga, pada tahun 1970-an, proyek ini berhasil menghubungkan lebih dari 100 komputer. Supaya lebih cocok dengan jangkauan koneksi yang makin luas, istilah APRANET diganti menjadi INTERNET atau interconnection networking.
Di abad informasi ini, manusia tengah “diperdaya” oleh kerajaan internet. Inovasi teknologi terbesar yang telah berhasil menjaring masyarakat konvensional ke dalam konsep masyarakat jejaring.  Sesuatu yang baru dalam ranah sosiologi modern. Adalah Manuel Castells dalam Network Society: Cross-cultural Perspective (2004) menjelaskan bahwa masyarakat jejaring (network society) adalah masyarakat dengan struktur sosial yang terbentuk atas kekuatan jejaring informasi berbasis mikroelektronik dan teknologi komunikasi.
Di sebuah komunitas sosial, struktur seperti di atas hanya bisa ditemui di kerajaan internet. Karena internet hadir dengan berjuta terobosan cerdas berteknologi web 2.0 dan web 3.0 dalam desain semantic web nya. Kini, hubungan antar individu mampu tercipta tanpa adanya proses tatap muka (face to face) langsung. Istilah jagad maya pun menjadi trend populer ketika sosialisasi tanpa raga ada di dalam ruang “maya”.  Kala itu, sosialisasi atau hubungan berbasis internet hanya sebatas pada lembaga formal yang terikat dalam proyek penelitian. Namun kini, jaringan internet telah merambah ke semua tingkatan kehidupan. Tak hanya pada kalangan ilmuwan di dalam lab penelitian, tapi juga telah masuk ke dalam struktur kalangan “awam” sekalipun.
Dunia maya (baca: internet) mampu mengubah paradigma berfikir masyarakat dari manualistis menjadi digitalistis. Misalnya, dari POS ke e-mail, dari kerja tangan ke kerja mesin, dll. Contoh lain, dalam hal perdagangan. Mulanya dari pertemuan si pembeli dan si penjual di suatu tempat (baca: pasar) ramai, kini menjadi lebih simple dengan hadirnya laman kaskus dan amazone di ruang maya. Tak perlu repot-repot pergi ke pasar, pembeli tinggal memilih produk yang diinginkan di portal amazone atau kaskus, lalu lakukan transaksi, maka jadilah proses trading online.  
Tak berbeda halnya dengan buku pelajaran atau buku umum yang kian jauh ditinggalkan empunya. Detik ini banyak buku seri digital (baca: e-book) berkonten pelajaran sekolah ataupun umum bertebaran di laman-laman virtual.  Kelebihannya, lebih fleksibel, serta lebih menghemat keuangan konsumen. Kekurangannya, perusahaan penghasil buku kian melarat karena produksi buku mereka terpaksa menurun. Akibatnya produsen buku harus gulung tikar secara sukarela.
Pendiri Perusahaan software terbesar dunia Microsoft, Bill Gates pernah meramalkan bahwa digitalisasi dalam bidang komunikasi dan informasi akan mematikan eksistensi surat kabar dan media informasi konvensional lainnya. Dan internet telah menjadi ancaman nyata dari seluruh media massa konvensional, seperti koran, radio, maupun televisi.
Media sosial online Facebook dan Twitter semakin memantapkan persepsi publik akan konsep sosialisasi maya di tengah kegamangan masyarakat dunia. Namun perlu dipahami, sosialisasi jenis ini terbentuk dengan tanpa adanya aturan main yang jelas. Tanpa adanya nilai moral sebagai pijakan. Maka wajar jika lahir kecenderungan-kecenderungan menyimpang dari para neter. Seperti pada ungkapan Scott Hirsch, pemilik DOMELive, salah satu situs porno terbesar di Amerika Serikat, menurutnya “Internet telah memecahkan problem distribusi yang menghadang industri pornografi.”  
Meminjam istilah Fakhruroji, sosialisasi maya akan menghantarkan kita pada tatanan ruang kehidupan yang bersifat anonimitas dan pseudonimitas, sebuah pengkaburan identitas personal seorang pengguna di jagad maya, sehingga penipuan berkedok penjualan pun ramai terjadi; dan penculikan berkedok perkenalan di media sosial mudah tercipta. Kedua istilah di atas berafiliasi dengan konsep network societynya Castells. Menggantungkan diri pada struktur sosial berbasis mikroelektronik dan teknologi komunikasi. Dibutuhkan kesadaran tinggi dari seorang neter dalam mendayagunakan teknologi internet secara sehat dan terarah. Tentunya dengan arahan dari pihak yang lebih paham serta kompeten.
Terlepas dari hal tersebut di atas, internet adalah media mutakhir dalam perjalanan peradaban homo sapiens, khususnya dalam kontribusinya sebagai akselerator proses sosialisasi antar individu di dalam masyarakat. Christian Fuchs dalam Internet and Society: Social Theory in the Information Age (2008), yang juga dikutip oleh Moch. Fakhruroji melalui ISLAM DIGITAL: Ekspresi Islam di Internet (2011), mencatat beberapa karakteristik internet, yakni; interactivity, multimedia, hypertextuality, global communication, many-to-many communication, cooperative production, decontextualization, and derealization. Komunikasi (sosialisasi) menjadi keyword penting dari teknologi internet. Akhirnya, berkomunikasilah secara jujur walaupun hanya di jagad maya yang tak kasat mata. Hingga, teknologi internet mampu menjadi bagian penting dari siklus peradaban umat manusia.***
Dian Kurnia, "blogger" serta pemilik http://initialdastroboy.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar