Rabu, 06 Juni 2012

Raja Faisal: "Singa" Padang Pasir (Cikarang Ekspress, 6/6/2012)


GELAR kehormatan sebagai raja tak lekas membuat Faisal angkuh dan sombong layaknya Fir’aun. Ia tak suka memamerkan gelar kebesaran, apalagi dicium tangan atau dipanggil Your Majesty. Ia lebih suka dipanggil brother atau bahkan Faisal. Pada masa kepemimpinannya, banyak keputusan “nakal” ia lontarkan. Seperti: memperbolehkan anak perempuan bersekolah, mengiyakan penggunaaan televisi, dan melakukan embargo minyak ke negara-negara barat, termasuk Amerika Serikat (Oktober 1973).
Namun, kisah keberaniannya harus kandas tragis saat keponakannya, Faisal bin Musaid, menembakkan tiga butir timah panas ke wajah sang raja. Sontak, sang “Singa” Padang Pasir wafat akibat kehabisan darah pada 26 Maret 1975.
Raja yang bernama lengkap Faisal bin Abdul Aziz bin Abdul Rahman bin Faisal As Saud ini lahir di Riyadh, April 1905. Ia adalah putra keempat dari pasangan Abdul Azis bin Saud (Ibnu Saud) –sang pendiri dinasti Saudiyah di Jazirah Arab, sekaligus pendiri Kerajaan Arab Saudi— dengan Tarfa bin Abduallah. Faisal pernah dinobatkan sebagai Man of the Year tahun 1974 versi majalah TIME, sebuah media massa terkemuka di Amerika Serikat. Penobatan itu bukan karena Faisal disenangi publik Amerika, tapi sebaliknya, ia adalah orang yang pernah membuat Amerika kelabakan, bahkan hampir membuat perekonomian Negara Paman Sam itu lumpuh akibat embargo minyak yang diprakarsainya.
Kendati demikian, AS tak serta merta mengekspansi pemimpin Arab itu. Melalui Presiden AS Richard Nixon, AS bernegosiasi dengan Raja Faisal untuk menghentikan embargo. Namun, apa yang beliau berikan, ia menolak negosiasi dengan berkata, “Tidak akan ada perdamaian sebalum Israel mengembalikan tanah-tanah Arab yang dirampas pada tahun 1967!” Sungguh luar biasa!

Sosok sederhana
Raja Faisal–yang juga keturunan Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri gerakan Wahabiyah— adalah sosok santun dan bijaksana. Beliau sangat mencintai rakyat melebihi dirinya. Setiap hari, ia selalu berjalan mengelilingi kota untuk melihat kondisi rakyatnya. Kebiasaan ini tak jauh beda dengan kebiasaan empat khalifah pertama zaman kelahiran Islam. Bahkan, dalam buku 50 Tokoh Politik Legendaris Dunia (2007), penulis menyebutkan, selama berkuasa Raja Faisal hanya memiliki satu mobil dan hanya memiliki satu istri. Pemandangan yang unik untuk seorang Raja Arab.
Selain bijaksana, Raja Faisal keras terhadap kejahatan kemanusiaan (humanity of crime). Ia menentang segala bentuk imperialisme modern yang dewasa ini dipraktekan AS beserta sekutunya, Inggris dan Israel di Timur Tengah. Beliau melakukan embargo minyak terhadap negara-negara barat (termasuk Amerika Serikat) karena mereka pro Israel ketika Perang Yom Kippur (1973) berkecamuk. Akibatnya, industri dan transportasi negara barat kacau balau.
Karir politiknya dimulai ketika sang ayah mengangkat Faisal menjadi Gubernur Hijaz pada 1926. Sebelumnya, ketika usinya menginjak 14 tahun, Faisal dipercaya menjadi Menteri Luar Negeri. Jabatan ini ia jalankan dengan cukup baik. Buktinya, ketika membawakan pidato kenegaraan dalam KTT Perdamaian di Versailles, Prancis, kharisma kepemimpinannya berhasil memukau delegasi asing yang hadir di konferensi tersebut. Baru kemudian pada 1965, di usianya yang ke-59, Faisal dinobatkan menjadi raja menggantikan kakaknya yang kabur ke Yunani selepas krisis moneter menyergap Arab.
Dalam pidato penobatannya, Faisal mengatakan, “Saya memohon kepada Allah semoga berkenan melindungi kita. Kiranya kita sekarang dapat memulai sebuah pekerjaan besar di atas suatu landasan yang kuat. Al-Qur’an tidak pernah menghalangi kemajuan. Allah senang kepada umatnya yang kuat. Mari kita lipatgandakan setiap usaha di semua bidang kehidupan untuk menyejahterakan kehidupan rakyat dan meletakkan negara dalam kedudukan yang terhormat.” (Achmad Munif, 2007)
Raja Faisal adalah contoh ideal seorang pemimpin. Ia lebih mengutamakan kepentingan rakyat (pro poor) daripada menunggangi ambisi pribadi dan kepentingan golongan untuk menumpuk emas dan tahta. Hal ini terlihat ketika tahun 1967 Raja Faisal menghapus program perbudakan dengan cara membayar budak-budak sewaan dari tangan majikan-majikannya. Ia rela membayar hingga 2800 dollar hanya untuk seorang budak. Raja Faisal juga melakukan penghematan kas kerajaan dengan menarik 500 mobil Cadillac milik istana. Dana tersebut digunakan untuk membangun sumur raksasa sedalam 1200 meter yang kemudian menjadi sumber mata air rakyat di lahan-lahan tandus di Semenanjung Arab.
Kepedulian Raja Faisal terhadap rakyat mencerminkan sikap luhur seorang pemimpin. Yakni sebagai 'aqdamul ummah' (menjadi tangga keberhasilan umat). Hal ini patut dicontoh oleh pemimpin-pemimpin negara lain, termasuk Indonesia. Kepemimpinan adalah amanah dan tanggung jawab yang harus diemban dengan baik. Melepaskan segala bentuk keinginan duniawi yang hanya menimbulkan malapetaka.
Terakhir, simak hadits Nabi SAW. berikut, “Tiada suatu penguasa pun yang menguasai perkara orang-orang muslim, lalu ia mati padahal ia telah berbuat curang terhadap mereka melainkan Allah mengharamkannya untuk masuk surga” (HR. Syaikhan melalui Ma’qal ibnu Yasar al-Muzanni).***

Dian Kurnia, Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar