KEHIDUPAN berbangsa dan bernegara akan lebih bermakna jika setiap individu menyadari akan hak dan kewajiban masing-masing. Lalu menikmatinya dengan bijak, yakni sesuai dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, menggunakannya dengan tidak memperolok hak-hak orang lain. Serta mengimplementasikan setiap kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab (responsibility). Hingga melahirkan atmosfer kehidupan sosial yang beraroma madani.
Aturan selebihnya berfungsi sebagai penjaga tradisi semata. Bukan pengekang kebebasan. Apalagi pembunuh hak-hak azasi manusia. Sebagaimana terjadi dewasa ini di beberapa negara berkembang, seperti Indonesia.
Indonesia adalah negara kaya. Kekayaan ini perlu dijaga dan dikelola dengan baik oleh pemerintah dan rakyat secara bersama-sama agar mendatangkan keberkahan. Sebab itu, dibutuhkan sistem pengelolaan terarah agar kekayaan yang ada dapat mendatangkan top solution bagi kehidupan kita—yang kian terpuruk ke jurang kesusahan akibat krisis moral yang terus-menerus membludak. Bukan mendatangkan bencana yang silih berganti.
Menjaga keseimbangan
Keseimbangan (balance) adalah aspek vital yang perlu dijaga oleh semua elemen. Masyarakat desa, misalnya, menjaga keseimbangan dengan melestarikan hutan, sawah, ladang-ladang perkebunan, pertanian, menjaga kebersihan DAS (daerah aliran sungai), dan lain sebagainya. Masyarakat kota dengan menggiatkan gaya hidup bersih serta mendaur ulang (recycling) barang-barang yang bersifat anorganik.
Masyarakat intelektual, seperti dosen dan mahasiswa, menjaga keseimbangan dengan lebih menggiatkan tradisi keilmuwan/transfer ilmu dengan tidak melepaskan diri dari konsep Tri Dharma perguruan tinggi; Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian (3P). Serta memupuk karakter jujur pada diri mahasiswa dengan contoh nyata. Sedangkan bagi pemerintah–baik tingkat desa, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi dan negara—menjaga keseimbangan dengan menjalankan fungsi politik sesuai amanat konstitusi/amanat UUD 1945. Menyadari fungsi sebagai wakil rakyat. Bukan merasa sebagai tuan rakyat hingga memperlakukan rakyat seperti budak. Sebab, “Leiden is lijden” kata Agus Salim. Memimpin adalah menderita.
Nasionalisme = kesadaran
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Bangsa yang selalu menggali puing-puing nilai kehidupan (humanity) di balik setiap peristiwanya, kemudian mengimplementasikan ke dalam kehidupan nyata. Karena sejarah merupakan saksi sekaligus bukti yang tidak saja menggambarkan realitas dan kenangan-kenangan indah semata, tapi juga menyuguhkan peristiwa penuh hikmah dalam setiap gerak-geriknya.
Di bulan Mei kita memperingati satu momentum historis perihal perjalanan sejarah bangsa. Yakni Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh pada tanggal 20 Mei setiap tahunnya. Kebangkitan Nasional adalah momen dimana bangkit dan berkembangnya semangat nasionalisme sebagai bahan dasar kemerdekaan (freedom). Ditandai dengan lahirnya organisasi pemuda Boedi Oetomo (“Boedi” artinya perangai atau tabiat sedangkan “Oetomo” berarti baik atau luhur) pada 20 Mei 1908 yang digagas oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan promotor Dr. Sutomo bersama para mahasiswa STOVIA lainnya. Sebuah teatrikal literalis yang hadir bersama jutaan problem kehidupan politis yang tak kunjung selesai.
Nasionalisme adalah alat menuju titik kesadaran paripurna tentang sebuah bangsa (nation) yang merdeka dan berdaulat. Ia ibarat harta karun negara-bangsa ini. Ruh nasionalisme para pendahulu yang idealis mengudara di langit zamrud khatulistiwa melepaskan penat keterjajahan dari bangsa kolonialis Belanda dan Jepang. Membulatkan kesadaran bahwa kita sedang dijajah dan harus segera melawan sampai titik darah penghabisan. Oleh sebab itu, ia (baca juga: nasioanalisme) harus kita pupuk dan pelihara terus agar tetap subur dan menjadi amunisi ketika musuh mulai mengancam.
Namun, perlu kita pahami, nasionalisme bukan sekadar mengikuti upacara di hari-hari besar kenegaraan. Nasionalisme juga bukan sekadar berpartisipasi aktif di setiap momen Pemilihan Umum. Atau mengkonsumsi produksi dalam negeri serta “meremehkan” penggunaan bahasa asing dengan alasan “tidak nasionalis”. Nasionalisme adalah bentuk kesadaran (awareness) tertinggi dari seorang warga negara sejati. Sadar bahwa ada orang lain dengan segudang perbedaan yang disikapinya secara legowo. Sadar akan fungsi dan peran sosialnya dalam kehidupan masyarakat. Dengan cara mengamalkan hak-hak dan kewajiban penuh tanggungjawab. Serta tidak menyentuh sisi privasi orang lain. Maka akan lahir keadaan yang kondusif: aman, tentram, dan terkendali dari ancaman-ancaman disintegrasi.
Tidak akan ada kericuhan apalagi perilaku kriminal di dalam masyarakat. Orang-orang akan tertib ketika antre di loket pembayaran. Petugas pelayanan umum (seperti di Samsat, Polres, Kecamatan, Bandara, Stasiun, dan lain-lain) akan lebih serius melayani kebutuhan, keluhan dan pengaduan masyarakat ketimbang berleha-leha mempermainkan publik hingga berkeluh-kesah. Begitu juga dengan kaum mayoritas akan lebih someah kepada kaum minoritas. Sebab, seperti diungkapkan Ulil Abshar Abdalla dalam akun twitternya (@ulil), “… demokrasi lahir untuk melindungi kaum minoritas dari hukum sosial yang “tak adil”: mayoritarianisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar