HARI Kebangkitan Nasional yang jatuh tiap tanggal 20 Mei—sebagian pendapat mengatakan jatuh pada 16 Oktober, sesuai dengan kelahiran organisasi Sarekat Islam, 16 Oktober 1905—memiliki arti penting bagi perjalanan negara-bangsa kita. Dalam konteks historis, Kebangkitan Nasional menjadi starting point lahir dan berkembangnya semangat nasionalisme para pejuang merebut kemerdekaan (liberty) dari tangan bangsa kolonialis Belanda dan Jepang.
Berbekal bambu runcing dan persenjataan sederhana lainnya, para pejuang kemerdekaan—yang terdiri dari orang tua, muda, anak-anak, kaya, serta miskin—bersatu membulatkan tekad untuk keluar dari belenggu sistem imperialisme kolonialisme Barat. Tantangan imperialisme Barat Katolik dan Protestan ini dijawab oleh kalangan Ulama dan Santri dengan membangkitkan kesadaran nasionalisme Indonesia yang didasari oleh ajaran Islam. Dengan pengertian nasionalisme sebagai gerakan anti imperialisme (Ahmad Mansur Suryanegara, 2010).
Berbekal bambu runcing dan persenjataan sederhana lainnya, para pejuang kemerdekaan—yang terdiri dari orang tua, muda, anak-anak, kaya, serta miskin—bersatu membulatkan tekad untuk keluar dari belenggu sistem imperialisme kolonialisme Barat. Tantangan imperialisme Barat Katolik dan Protestan ini dijawab oleh kalangan Ulama dan Santri dengan membangkitkan kesadaran nasionalisme Indonesia yang didasari oleh ajaran Islam. Dengan pengertian nasionalisme sebagai gerakan anti imperialisme (Ahmad Mansur Suryanegara, 2010).
Semangat juang dalam jiwa nasionalisme perlu terus kita gali dan maknai bersama. Karena pada hakikatnya nasionalisme adalah rasa cinta setiap elemen bangsa kepada negara yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Nasionalisme bersifat universal. Tak hanya milik golongan tertentu—seperti pejuang. Seorang warga negara akan lebih mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok atau pribadi tatkala jiwa nasionalisme melekat padanya.
Edward Gibbon (1737-1794), sejarawan asal Inggris, pernah mengatakan, “Maju mundurnya sebuah imperium/negara sangat ditentukan oleh ada tidaknya cita-cita kemajuan.” Cita-cita kemajuan merupakan harapan setiap bangsa yang merdeka. Ia perlu dikoordinir oleh seorang pemimpin politik (presiden). “Tugas seorang pemimpin politik bukan menghanyutkan diri pada perenungan-perenungan teoritis, melainkan mengaktivir kepada perbuatan. Perbuatan, adalah suatu akibat. Akibat daripada kemauan. Akibat daripada ‘wil’. Tiada perbuatan zonder kemauan, tiada perbuatan zonder ‘wil’, Dus: mengaktivir kepada perbuatan berarti mengaktivir ‘wil’ atau keinginan,” begitu kata Bung Karno (Herbert Feith, 1995).
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh wacana disintegrasi sosial terkait konflik horizontal yang mengatasnamakan Agama dan golongan tertentu. Radikalisme tak seharusnya mencuat jika nasionalisme terpatri dalam jiwa elemen bangsa. Sebab, nasionalisme merupakan modal bagi masyarakat Indonesia untuk mengisi kemerdekaan—yang kian hari kian terpuruk ke arah jurang kebinasaan moral akibat ulah para koruptor—dengan hal-hal positif.
Perlu dipahami, nasionalisme bukan sekadar mengikuti upacara hari-hari besar kenegaraan, atau menghapal butir-butir sila dalam Pancasila serta pasal-pasal dalam UUD 1945. Nasionalisme juga bukan sekadar berpartisipasi aktif di setiap momen Pemilihan Umum –baik Pilkada maupun Pilpres. Atau mengkonsumsi produk dalam negeri dan “meremehkan” penggunaan bahasa asing dengan alasan “tidak nasionalis”.
Nasionalisme adalah bentuk kesadaran (awareness) paripurna dari seorang warga negara sejati. Ia terbentuk saat terbukanya jiwa untuk menerima ibrah dari setiap peristiwa sejarah bangsa. Kemudian muncul kesadaran bahwa ada orang lain dengan segudang perbedaan yang harus disikapi secara legowo. Sadar akan fungsi dan peran sosial dalam kehidupan bermasyarakat, hingga mengoptimalkan perannya seproporsional mungkin. Dengan cara mengamalkan hak-hak dan kewajiban penuh tanggungjawab. Serta tidak menyentuh sisi privasi orang lain. Maka akan lahir suasana kondusif: aman, tentram, dan terkendali dari berbagai macam ancaman disintegrasi.
Tidak akan ada kericuhan apalagi isu-isu berbau radikalisme dalam kehidupan masyarakat. Orang-orang akan tertib ketika antre di loket pembayaran. Petugas pelayanan umum (seperti di Samsat, Polres, Kecamatan, Bandara, Stasiun, dan lain-lain) akan lebih serius melayani kebutuhan, keluhan dan pengaduan masyarakat ketimbang mempermainkannya hingga berkeluh-kesah. Begitu juga dengan kaum mayoritas akan lebih someah kepada kaum minoritas. Sebab, seperti diungkapkan Ulil Abshar Abdalla dalam akun twitternya (@ulil), “… demokrasi lahir untuk melindungi kaum minoritas dari hukum sosial yang “tak adil”: mayoritarianisme.
Pergeseran nilai-nilai sosial-budaya ketimuran pada masyarakat kita terjadi bak bom waktu yang suatu saat bisa meledak dan menghancurkan integritas bangsa. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam lima sila pun hilang akibat ulah bejad segelintir elite birokrat pemuja harta dan kekuasaan. Konflik horizontal yang mengatasnamakan kelompok/golongan tertentu tak lagi menjadi prioritas kerja pemerintah. Mereka sibuk memformulasikan aturan-aturan tak masuk akal.
Setelah kasus korupsi dan pencucian uang mencuat, kini strategi pengalihan isu mewarnai rekam jejak (track record) pemerintahan SBY-Boediono. Permasalahan bangsa kian menggurita. Menyesakan ruang gerak di alam demokrasi. Belum hilang satu masalah, muncul masalah baru yang lebih pelik. Begitu pula dengan bencana alam dan kemanusiaan yang tiada henti “menggerayangi” tanah Ibu Pertiwi. Lengkap sudah penderitaan negeri ini.
Apa yang mestinya kita lakukan tatkala realitas sudah sedemikian kronis dan mengarah pada jurang kebinasaan? Hemat penulis, kita perlu membangun kembali jiwa nasionalisme. Membaca dan mengkaji jejak historis para pejuang kemerdekaan. Terpenting, peran seorang pemimpin sebagai contoh bagi masyarakatnya. Dengan demikian segala bentuk macam ancaman eksternal akan mudah teratasi tanpa melahirkan ancaman baru. Sebab, faktor utama kekisruhan bangsa saat ini tak lain dan tak bukan adalah hilangnya jiwa nasionalisme dalam elemen bangsa.
Saat nasionalisme hilang dalam jiwa masyarakat, lalu apa arti dari sebuah negara? Hanya keonaran yang akan terjadi. Disinilah peran seorang pemimpin diuji. Apakah ia mampu mengarahkan bangsa ke titik teraman, yakni memupuk rasa nasionalisme di setiap lini kehidupan. Atau menjerumuskan bangsa ke lembah ketidakadilan yang terus-menerus berlalu-lalang bagai sebuah busway yang selalu memakan korban. Nasionalisme, mati suri-kah?[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar