Selasa, 05 Juni 2012

Grasi Corby dan Pelintiran Persepsi

MEMBUNGKUS inkonsistensi penegakan hukum dengan memelintir persepsi  sudah menjadi ciri rezim pemerintahan saat ini. Setiap pelintiran persepsi selalu bermuatan niat berbohong dan membodohi rakyat. Menolak dibohongi terus, rakyat justru balik mengecam. Kalau tidak bisa membohongi lawan bicara, Anda yang bodoh atau lawan bicara Anda? Grasi untuk terpidana narkoba Schapelle Leigh Corby menghadirkan hujan kecaman yang dialamatkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Situasi itu memaksa Mahkamah Agung (MA) bersama Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Amir Syamsuddin tampil membela, sekaligus menjelaskan motif kebijakan pemberian grasi selama lima tahun itu.
Mahkamah Agung (MA) mengaku memberi pertimbangan hukum kepada Presiden sebelum Presiden memberi grasi itu. Salah satu pertimbangan MA adalah alasan kemanusiaan. Corby sering sakit-sakitan di penjara. Sedangkan Menteri Amir diplomatis. Dia mengatakan, grasi  untuk Corby dapat menjadi diplomasi perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) yang terlibat kasus hukum di luar negeri. Artinya , grasi untuk Corby dapat menyelamatkan WNI yang dipenjara di Australia.  Dan, masih menurut Amir,  beberapa negara tak lagi mengkategorikan ganja sebagai narkotika. "Di beberapa negara, (hukuman kepemilikan) ganja diringankan, dan bahkan dihapuskan," kata Amir.
 Sampai dengan proses  hukum kasus Corby, apakah perlakuan hukum RI terhadap penyelundup dan pengedar ganja sama dengan negara lain yang dimaksud Amir? Kalau ada pengecualian terhadap penyelundup atau pengedar ganja, mengapa Corby sejak awal didakwa dengan pasal kejahatan narkotika  menurut hukum Indonesia yang menyerbutkan bahwa narkotika yang diselundupkan Corby tergolong kelas I yang berbahaya.
Dengan argumentasi seperti tadi,  Amir tampak mencoba memelintir persepsi publik yang terlanjur berpendapat bahwa pemberian grasi untuk Corby bertentangan dengan komitmen nasional memerangi jaringan narkotika internasional dan sel-selnya di dalam negeri. Sekuat apa komitmen nasional memerangi jaringan narkotika setidaknya sudah tercermin dari eksistensi Badan Narkotika Nasional (BNN). Apalagi kalau grasi Corby itu dihadap-hadapkan langsung pada inisiatif  Kemenkumham menerbitkan kebijakan pembatasan remisi bagi terpidana korupsi, teroris dan terpidana narkoba. Maka, jelas bahwa yang tampak begitu telanjang adalah inkonsistensi penegakan hukum.
Pelintir-memelintir persepsi ini nyaris sudah menjadi kebiasaan beberapa pembantu presiden. Masih segar dalam ingatan khalayak bagaimana Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana merespons kecaman berbagai kalangan atas inisiatif Kemenkumham memberlakukan keputusan Menkumham tentang Moratorium – kemudian diubah menjadi pembatasan -- Remisi bagi terpidana Koruptor, teroris dan terpidana narkotika. Bukan moratorium atau pembatasan remisi-nya yang dikecam, melainkan mekanisme keputusannya yang ditentang. Sebab, keputusan Menkumham itu bertentangan dengan Undang-undang.
Bukannya fokus pada diskusi tentang tata perundang-undangan, Denny dan kawan-kawannya malah memelintir inti persoalan dengan menebar tuduhan. Siapa pun yang mengecam dituduhnya sebagai pembela koruptor. Secara tak langsung, sejumlah anggpota DPR yang mengecam keputusan Menkumham itu, plus mantan Menkumham Yusril Ihza Mahendra, pun dituduh demikian. Dalam nada sinis, Denny memberi ucapan selamat kepada Yusril Ihza Mahendra yang dinilainya telah membebaskan koruptor.
Terakhir,  ketika Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam keputusannya memerintahkan pemerintah menunda pelaksanaan Keppres (Keputusan Presiden) No.48/P Tahun 2012  per 2 Mei 2012 tentang pengesahan pengangkatan H Junaidi Hamsyah dari Wakil Gubernur/Plt Gubernur Bengkulu menjadi gubernur definitif menggantikan Agusrin Najamuddin. Lagi-lagi, Denny  memelintir makna keputusan PTUN itu. Dia menegaskan,  jika terus dibiarkan, PTUN akan menjadi benteng pertahanan bagi kepala daerah yang telah divonis pengadilan karena terbukti korupsi.
Bukan saja tidak cerdas, pelintiran persepsi itu mengandung maksud membohongi serta membodohi publik. Rakyat diwajibkan taat hukum. Apakah pemerintah boleh melanggar hukum atas nama kepentingan penegakan hukum? Tidak boleh lagi ada kesewenang-wenangan di negara ini.
Kalau seperti itu pola pikir dan pola tafsir yang dikembangkan Denny, bagaimana bunyi pelintiran Denny atas keputusan Presiden tentang grasi untuk Corby? Denny pasti tidak berani mengecam grasi itu dengan mengatakan istana presiden sebagai benteng pertahanan jaringan internasional pengedar narkoba.

Inkonsisten
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidatonya memperingati  Hari Antinarkotika Internasional 2011 di Monumen Nasional., menunjukkan komitmen yang kuat terhadap pemberantasan narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba). "Kita harus lebih agresif dan ambisius lagi dalam memberantas narkoba. Badan Narkotika Nasional harus lebih aktif, lebih berinisiatif, dan lebih bekerja keras didukung segenap elemen bangsa," kata Presiden saat itu.
Dengan demikian, arus kecaman terhadap kebijakan pemberian grasi untuk Schapelle Leigh Corby lagi-lagi  menunjukan masyarakat Indonesia cerdas-kritis dan menuntut konsistensi. Keteguhan dan ketegasan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korupsi, terorisme dan kejahatan narkotika harus dibuktikan dengan tidak adanya toleransi sedikit pun terhadap semua pelaku tiga modus kejahatan itu, baik penjahat lokal maupun WNA penyelundup narkoba.
Memang, terpidana  Schapelle Corby yang asal Australia wajib diperlakukan manusiawi saat dia dalam kondisi fisik sehat-bugar, maupun ketika wanita berusia 35 tahun itu dalam kondisi fisik tidak prima karena sakit-sakitan. Hak-hak azasinya sebagai manusia berstatus terpidana harus dipenuhi dan dihormati. Itulah kewajiban Indonesia yang harus dilaksanakan Kementerian Hukum dan HAM cq Ditjen Pemasyarakatan dan manajemen LP Kerobokan, Bali.
Jadi, kalau Corby sakit, Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM harus memastikan bahwa Corby mendapat dan menerima layanan medis yang layak agar dia bisa sembuh. Sudah barang tentu Corby yang sakit tidak akan sembuh hanya dengan rekomendasi kepada presiden agar dia mendapatkan grasi. Bukankah rekomendasi itu hanya  berupa selembar kertas surat, sedangkan Corby yang sakit-sakitan lebih membutuhkan obat atau bimbingan psikiater. Artinya, perlakuan manusiawi untuk Corby tidak harus diwujudkan dengan pemberian grasi.
Apakah penyakit yang diidap Corby akan merenggut nyawanya jika dia tidak mendapatkan grasi dari Presiden RI ? Penyakit sinus Angelina sondakh kambuh begitu dia mulai diinapkan di ruang tahanan KPK. Tapi, KPK tidak otomoatis memberi kebebasan kepada Angelina Sondakh. KPK cukup menghadirkan dokter untuk merawat Angelina Sondakh, dan persoalan pun teratasi. Mengapa Corby tidak diperlakukan demikian? Yakni, mendapatkan perawatan medis, baik oleh para dokter Indonesia, atau perawatan oleh dokter pribadi yang didatangkan dari Australia.
Sudah bukan cerita baru lagi kalau pemerintahan sekarang ini berperilaku aneh dalam mengelola sejumlah kasus hukum. Misalnya, selain mengambangkan kasus Bank Century, publik tentu masih ingat bahwa belum lama ini pemerintah kalah lagi di PTUN, sehingga  kasus pergantian gubernur Jambi definitif harus ditunda.  Aneh, kantor presiden sering kalah di pengadilan.
Tentu saja, bagi masyarakat,  grasi untuk Corby juga aneh. Bayangkan, negara sedang all out memerangi jaringan narkotika  internasional yang terus merangsek ke Indonesia, tetapi presiden justru memberi grasi kepada terpidana WNA dalam kasus narkoba.
Pertanyaannya, untuk apa Kemenkumham bersikukuh menerbitkan rencana kebijakan pengetatan remisi bagi terpidana korupsi, terpidana narkoba dan terpidana terorisme? Jelas bahwa grasi untuk Corby mencerminkan standar ganda yang dipraktikan pemerintahan ini dalam mengelola sejumlah kasus hukum.
Aspek yang seharusnya menjadi kekhawatiran semua pihak dari kebijakan grasi untuk Corby adalah hilang atau menurunnya efek jera bagi pelaku kejahatan narkoba. Bandar besar narkoba akan menilai bahwa selain oknum aparaturnya gampang disogok, pemerintah RI bisa melunak hanya karena loby.[]

Bambang Soesatyo, Anggota Komisi III DPR RI
(Opini Koran SINDO 28/5)

 


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar