Selasa, 05 Juni 2012

Mitos di Dunia Modern


KRITIKUS sastra asal Perancis, Roland Barthes dalam karyanya yang terkenal Mythologies, mendifinisikan “mitos” bukan sebagai tradisi-tradisi masyarakat pra-literal yang berhubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural atau bentuk-bentuk ritual kepercayaan terhadap dewa-dewa dan tuhan-tuhan bayangan (imagined gods), tetapi, secara revolusioner, ia mendefiniskannya sebagai “sebuah bentuk pembicaraan” (a type of speech).
“Segudang makna lain silahkan disebutkan untuk menolak pengertian ini,” kata Barthes, “tapi yang sedang saya definisikan adalah sesuatu bukan kata-kata.” Bagi Barthes, mitos adalah sebuah sistem komunikasi, sebuah pesan. Mengartikan objek-objek mitis menurut substansinya seperti selama ini dilakukan, bagi Barthes, bisa terjebak pada hal-hal yang sifatnya ilusif. Karena mitos adalah bentuk pembicaraan, sebuah bahasa, sebuah pesan, maka segala sesuatu yang dibentuk oleh praktik-praktif diskursif bisa menjadi mitos.
Mitos sesungguhnya bukan objek pesannya tetapi cara pesan tersebut diungkapkan. Yang membentuk mitos bukan objeknya melainkan bahasa sebagai sistem komunikasi (petanda, signified). Bagi Barthes, setiap objek dalam kehidupan muncul dari sesuatu yang tertutup, sesuatu yang diam (silent existence), kemudian berubah menjadi sebuah pembicaraan (oral state) yang disepakati masyarakat. Dengan pemahaman ini, segala sesuatu bisa berfungsi menjadi mitos. Tidak ada hukum dan aturan yang melarang mendefiniskan sesuatu.
Sebuah pohon tetaplah pohon, tetapi bagi orang-orang Kristen yang sedang merayakan Natal, pohon bukan lagi pohon konvensional, tetapi pohon yang didekorasi, yang kerlap-kerlip penuh lampu, menjadi sebuah bentuk konsumsi, sebuah bentuk perayaan. Dalam definisi ini, kata Barthes, maka segala bentuk representasi seperti foto, bioskop, laporan, olah raga, pertunjukan, publikasi dan sebagainya semuanya dapat menjadi sebuah ‘pembicaraan mitis’ (mythical speech), menjadi mitos, tentu selain tulisan, pikiran, ide, propaganda, pandangan yang sudah established bahkan teori.
Namun, Barthes tidak menggugurkan karakter dasar dari mitos sebagai pengetahuan imajinatif. Ia hanya melengkapi perspektif kita bahwa mitos bukan hanya objek dan praktiknya semata melainkan juga bahasa. Dengan kata lain, Barthes melengkapi unsur-unsur sebuah mitos, sementara pembuktian kebenarannyalah yang tetap menentukan sebuah pengetahuan mitos atau bukan.
Dari perspektif Barthesian, sejarah, budaya dan politik Indonesia adalah sebuah padang pasir yang dipenuhi ribuan mitos-mitos yang tanpa disadari telah menjadi praktik, kebiasaan berfikir dan mentalitas kita sehari-hari. Dalam sejarahnya, mitos menyelimuti tradisi berfikir manusia, setiap zaman, setiap waktu, setiap generasi, tanpa kecuali. Mitos bukan dominasi manusia purba atau masyarakat tradisional, tapi juga ciri manusia modern yang sudah maju oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Berfikir mitis adalah bagian dari kehidupan manusia. Banyak pengetahuan kita yang sesungguhnya hanya mitos yang dalam pengertian dasarnya adalah sebuah pengetahuan imajinatif. Kita percaya saja sesuatu itu benar. Kita menyebut sesuatu ‘mitos’ pada pengetahuan imajinatif yang sifatnya tidak rasional, tidak ilmiah dan tidak terbukti kebenarannya.
Tetapi seperti kata Barthes di atas, mitos bukan hanya itu. Mitos juga adalah sistem komunikasi, pembicaraan dan bahasa. Segala sesuatu yang diungkapkan melalui bahasa bisa menjadi mitos yang mengandung dusta. Sejatinya, semakin rasional manusia, semakin metodologis ilmu pengetahuan, semakin berkuranglah mitos bahkan menghilang. Nyatanya tidak. Sebagai komunikasi, mitos-mitos tetap hadir dan tumbuh subur dalam tradisi ilmu pengetahuan modern. Mitos juga adalah bagian dari tradisi berfikir rasional dan ilmiah. Mitos bertahan dalam kehidupan manusia karena memiliki fungsi aksiologisnya yang khas. Mitos memainkan fungsi-fungsi pemeliharaan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Mitos memiliki fungsi harmoni dan stabilitas sosial.
Sebagai “a type o speech,” mitos bukan lagi tradisi dan kepercayaan purba. Ia juga adalah praktik-praktif diskursif yang menelingkup kita dari persoalan-persoalan besar yang berskala internasional, nasional hingga yang kecil-kecil dalam kehidupan keseharian. Maka, ungkapan “demokrasi adalah sistem politik yang paling ideal untuk semua masyarakat,” adalah mitos karena demokrasi sangat bergantung konteks, pada masyarakat yang belum matang, demokrasi malah wadah bagi anarki dan kekerasan. Sebaliknya, “negara Islam adalah sistem yang ideal” adalah mitos karena wujud historisnya belum pernah ada. Tanpa sadar, pengetahuan, sikap mental dan kesadaran kita diliputi mitos-mitos baik sebagai sebuah imajinasi atau sebagai sebuah ekspresi ketakberdayaan!
Dalam politik nasional, bunyi konstitusi negara dan undang-undang kita penuh dengan mitos. “Sumber-sumber kekayaan alam diurus oleh negara digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat” jelas-jelas mitos karena kenyataannya setelah lebih dari 60 tahun merdeka kemiskinan tetap menjadi ciri khas negeri yang subur makmur ini. “Fakir miskin dan anak-anak terlantar diurus oleh negara” adalah mitos karena semua orang tahu selama puluhan tahun itu hanya teori.
Begitu pun dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa dengan bangga mamakai kaos oblong bertuliskan “God is dead!,” adalah mitos. Ungkapan itu hanyalah pemberontakan pada lingkungan yang penuh dengan kemunafikan. Stiker “Islam is way of life,” dalam sebuah mobil adalah mitos ketika ternyata mobil itu parkir seenaknya atau melemparkan sampah ke jalan raya dari kaca mobilnya. “Islam is the best solution!” adalah mitos ketika umat Islam tidak menghadirkan keluhuran ajarannya dalam kehidupan nyata. Islam menjadi solusi bukan pada semangat, slogan, simbol dan keyakinan, melainkan pada sikap mental, kesadaran moral dan pembuktikan dalam tindakan sehari-hari secara konkrit.
Kehidupan kita di abad ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dipenuhi mitos-mitos. Mitos-mitos ini secara tak sadar dipegang dan menjadi pendirian berpuluh-puluh tahun. Pengetahuan kita dibentuk oleh ideologi, propaganda, iklan, slogan, simulakrum, tontonan, simbol, emosi, kepentingan kelompok, vested-interest dan sebagainya yang semuanya membentuk mitos-mitos. Tanpa sadar, itu semua membentuk pengetahuan palsu, mengkonstruk kerancuan berfikir dan menciptakan keyakinan-keyakinan semu. Pengetahuan kita sudah tidak utuh dan asli. Sangat jarang kita berfikir dan merenung benar salahnya pengetahuan kita, asli palsunya informasi yang kita terima, juga persepsi kebenaran yang kita yakini dan kita bela.
Kebenaran yang kita bela, seperti kata Habermas, sering merupakan pertautan antara ilmu dan kepentingan, atau kolaborasi antara pengetahuan dengan kuasa, kata Foucault. Kebenaran itu bermetaformosis menjadi organisasi, kelompok, tujuan-tujuan pribadi bahkan kesadaran-kesadaran palsu atas nama agama. Mitos dengan agama sangat lekat. Membela agama sering bukan membela kebenaran melainkan membela membela kepentingan-kepentingan, kelompok atau hak-hak privilese. Penganut agama harus selalu meredefinisi pemahaman dan keyakinannya agar terhirdar dari kesadaran palsu yang tak lebih dari sekadar mitos.[]

Moeflich Hasbullah, Staf Pengajar di UIN SGD Bandung, alumni ANU (Australian National University)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar