Selasa, 05 Juni 2012

Pilkada 2013, Siap(golput)kah?

SEBAGAI negara demokrasi, Indonesia menyediakan ruang gerak bagi publik untuk menyuarakan aspirasi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku (Isi pasal 28E ayat 3 UUD 1945). Sama halnya dengan Pemilihan Umum. Sebagai pilar di negara demokrasi, pemilu pun dijadikan lokomotif perubahan oleh rakyat untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.  
Tak lama lagi masyarakat Indonesia --khususnya masyarakat Jawa Barat-- akan melaksanakan Pemilihan Umum untuk memilih kepala daerah; Gubernur/Wakil Gubernur serta Bupati/Wakil Bupati di enam kabupaten/kota di Jawa Barat. Yakni; Kota Cirebon, Kota Sukabumi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Purwakarta dan Kota Bekasi. Pilkada yang ditaksir memakan biaya hingga Rp 977 miliar ini akan dilaksanakan pada 24 Februari 2013 mendatang. Harga yang tak murah untuk memamerkan diri sebagai negara demokrasi. Namun selalu menghasilkan pemimpin-pemimpin murahan berkelas teri.
Pilkada adalah Pemilihan Umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh penduduk daerah di suatu tempat. Pelaksanaan Pilkada diatur dalam UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Diantaranya, pasal 56 UU Nomor 32/2004 disebutkan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”  Dimulai dengan proses kampanye oleh setiap balon. Sebab kampanye merupakan bentuk komunikasi politik sebagai upaya memersuasi pemilih (voter) agar mendapatkan dukungan dari banyak kalangan saat pencontrengan. Hingga transparansi sangat dibutuhkan pada proses ini.
Menurut Michael dan Roxanne Parrot dalam bukunya Persuasive Communication Campaign (1993), kampanye didefinisikan sebagai proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan dan dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. Hal senada juga dikemukakan oleh Roger dan Storey dalam Communication Campaign (1987) yang juga mendefiniskan kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi terencana yang bertujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.
Fenomena politik pencitraan yang dewasa ini dipertontonkan oleh para politisi DPR, kian mengikis habis harapan rakyat untuk bisa menikmati benih demokrasi. Dramaturgi politik praktis yang sejatinya tak perlu dipentaskan malah menjadi program andalan yang tiap menitnya bahkan detik hilir mudik menghiasi wajah media massa. Skandal korupsi Muhammad Nazaruddin yang juga menyeret nama duo ratu; Rossa dan Angie, bisa dijadikan contoh atas pernyataan tersebut. Kompetisi “sakit” untuk mendapatkan kursi panas di Parlemen mendorong banyak pihak—yang notabene berasal dari partai politik—untuk mempraktekan tradisi-budaya VOC (berdiri  pada Maret 1602); korupsi.
Setidaknya ada empat poin penting persoalan bangsa yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintahan SBY-Boediono. Pertama, hingga saat ini pemerintah dianggap kurang cakap mengurus penyelesaian sengketa pertanahan. Kedua, meski menyandarkan pemasukan Negara dari proses produksi dan ekspor komoditas yang dihasilakan para buruh, pemerintah dinilai tidak bisa menyelesaikan perselisihan perburuhan. Ketiga, pemerintah tidak bisa menjamin hak hidup ataupun beribadah warga minoritas. Keempat, ketidakseriusan pemerintah menuntaskan kasus-kasus korupsi yang melibatkan personel ketiga institusi negara, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif (Kompas, 14/02/2012). Alhasil, golput menjadi konsekuensi logis atas ironisitas realitas. Parahnya, tren ini mengalami peningkatan tajam di setiap tahunnya. Hal ini sejalan dengan kecenderungan semakin melemahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada parpol yang menjadi “tempat bersemayamnya” para koruptor kelas kakap.
Dalam rangka menyongsong dan menyukseskan Pilkada Jabar 2013, perlu kiranya masyarakat mengenal dan mendalami track record tiap “balon” secara sadar dan bijak. Langkah ini diharapkan mampu membuka cakrawala pemilih mengenai pribadi balon yang bersangkutan. Jangan sampai ada istilah “Beli kucing dalam karung!” 
Pemilu di negara demokrasi adalah keniscayaan yang menjadi syarat minimum bagi negara jika ingin dikatakan sebagai negara demokrasi. Tentunya dilandasi asas “Luber” dan “Jurdil”. Menjauhi sikap federalisme dan egoisme golongan yang akan berbuntut pada aksi pengrusakan terhadap nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Mengutip pernyataan Soekarno, “Dengan terbitnya matahari kebangsaan Indonesia (Sumpah Pemuda 1928) yang bulat dan bersatu, hilanglah hak sejarah bagi ide provinsialisme, ide insularisme, dan ide federalisme. Maka barangsiapa sekarang ini membangkitkan kembali ide-ide tersebut, ia seperti orang yang menggali kubur dan mencoba menghidupkan kembali tulang orang-orang yang dikubur berpuluh-puluh tahun yang lampau” (Wawan, 2001).
Berkaca pada sejarah, pemilu pertama tahun 1955 (seharusnya dilakukan tahun 1946) adalah prototype ideal dari pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Meski yang menjadi calon anggota DPR adalah Perdana Menteri dan Menteri yang sedang memerintah, mereka tidak serta merta menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Namun coba kita amati sekarang, setiap anggota di dalam satu fraksi saling adu jotos hingga membuat rakyat terbengong-bengong menyaksikannya.
Atas dasar kenyataan inilah, kita wajib menggunakan hak pilih secara bijak dengan memilih “balon” yang memiliki track record sehat dan sesuai dengan kriteria yang sudah dicontohkan oleh Islam, yaitu tabligh (menyampaikan, komunikatif), shiddiq (jujur dalam bekerja), amanah (dapat dipercaya oleh rakyat), dan fathonah (pandai, cerdik, dan bijaksana). Terakhir, mari kita simak hadits Nabi SAW berikut, “Tiada suatu penguasa pun yang menguasai perkara 0rang-orang muslim, lalu ia mati padahal ia telah berbuat curang terhadap mereka melainkan Allah Swt mengharamkannya untuk masuk surga!” (HR. Syaikhan).

Dian Kurnia, Mahasiswa Sejarah UIN SGD Bandung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar