Senin, 04 Juni 2012

Artikel Sebagai Panggung Kompetensi


ARTIKEL di majalah dan koran bisa menjadi jembatan popularitas dan panggung unjuk kompetensi bagi penulisnya. Sejumlah penulis di media massa, selain kemudian terkenal, juga ada yang menduduki jabatan penting di pemerintahan. Sebut saja Abdurrahman Wahid (mantan Presiden), Andi Rizal Mallarangeng (Juru Bicara Presiden), Juwono Sudarsono (Menteri Pertahanan), Dewi Fortuna Anwar (asisten Wakil Presiden) dan lain-lain.

Fakta itu menunjukkan bahwa artikel di media massa tak bisa diremehkan perannya dalam mendongkrak karir penulisnya. Namun bila ada penulis pemula yang ingin terjun ke bidang penulisan artikel dengan tujuan mencari uang, mereka harus siap-siap gigit jari. Soalnya, bidang penulisan artikel di koran dan majalah tak bisa menjadi ladang uang. Bukan karena honor setiap tulisan kecil, tapi lebih karena frekuensi pemuatan artikel oleh satu penulis di media massa dibatasi oleh redakturnya. Ada media yang membatasi pemuatan artikel oleh satu penulis yang sama, sekali sebulan. Tapi memang tujuan uang ini bisa menggelincirkan penulisnya ke kecenderungan fabrikasi, sesuatu yang dibenci oleh media.

Gampang-gampang sulit
Sulitkah menulis artikel di media massa? Jawabnya gampang-gampang sulit. Kalau dibilang gampang, nyatanya tak semua menteri pernah menjadi penulis artikel di media. Penulisan artikel sebagai salah satu cabang penulisan, seperti dunia tulis menulis pada umumnya, gampang-gampang susah. Maka kalau budayawan Arswendo pernah menulis buku berjudul “Mengarang itu Gampang”, itu jangan diartikan secara harafiah. Judul buku itu diduga hanya untuk mensugesti pembaca bahwa menulis itu gampang, paling tidak menurut Arswendo yang memang telah membuktikan diri sebagai penulis produktif.
Makalah ini tidak ingin mengendurkan semangat para calon penulis untuk menekuni bidang penulisan artikel di media massa, bahwa menulis artikel itu susah. Bukan, bukan itu maksudnya. Tetapi untuk bisa menjadi penulis artikel di media massa memang dibutuhkan perjuangan panjang. Kadang-kadang para redaktur media, karena mereka sudah terkungkung oleh hukum besi media – misalnya mengutamakan penulis terkenal, mereka tidak memberikan kesempatan kepada para penulis pemula. Jadi, kuncinya ya jangan kapok untuk menulis artikel ke media pada fase perintisan. Ada yang mengibaratkan kemampuan menulis seperti kemampuan mengendarai sepeda. Kemampuan itu hanya bisa diperoleh dengan mengalaminya, bukan mempelajari teorinya. Ada juga yang menyamakannya dengan kemampuan berenang. Kalau mau belajar berenang ya silakan masuk ke kolam sembari menuruti tutorial guru renang. Naik sepeda dan berenang mengandung resiko selama proses latihan. Salah-salah sedang latihan sepeda, ketabrak mobil, atau tersungkur di selokan. Berenang juga beresiko. Salah-salah latihan kecebur ke air yang dalam dan bersinggungan dengan maut.
Yang tepat sebetulnya menulis bisa disamakan dengan belajar musik, misalnya piano. Siapa saja bisa memencet tut piano dan menghasilkan bunyi, namun untuk bisa menghasilkan bunyi musik yang berkelas, orang harus belajar teori dan melatih diri dengan tekun. Ini sama dengan menulis. Semua orang juga bisa menulis. Namun untuk bisa menghasilkan tulisan yang enak dibaca dan perlu, orang butuh banyak membaca, sering menulis, dan bahkan meningkatkan mutu pribadi.

Lupakan definisi
Teknik Penulisan Artikel Ilmiah Populer, begitu topik yang diharapkan dibahas di makalah ini. Tapi sebentar, apa perbedaan antara artikel ilmiah populer dan artikel seperti yang dimuat di koran? Secara umum harus diakui bahwa keduanya berpengertian sama. Artikel-artikel yang dimuat di koran umumnya sudah melalui seleksi oleh redakturnya, dan umumnya media menginginkan tulisan yang bermutu. Itu artinya, artikel di koran juga memenuhi syarat-syarat keilmiahan dari masing-masing bidang keilmuan.
Namun kadang koran memang memuat artikel-artikel yang lebih tepat disebut esai. Esai adalah tulisan yang umumnya memakai cara pandang subyektif penulisnya dan ditulis dengan gaya bahasa yang lebih sastrawi. Tulisan semacam ini disebut juga kolom, seperti tulisan Emha Ainun Najib di majalah Tempo edisi 30 September 2007 berjudul “Setan Diborgol, Mestinya Kita Juga”. Jadi, artikel di koran adalah artikel ilmiah populer secara substansi. Sebutan lain untuk artikel semacam adalah komentar (commentaries). Istilah ini dipakai oleh Project Syndicate, situs asosiasi koran sedunia yang berisi artikel opini sekelas peraih Hadiah Nobel. Mungkin karena artikelnya rata-rata pendek (6 ribu karakter) dan mengomentari masalah aktual, jadi digunakanlah istilah komentar.
Di koran Tempo, pernah ada rapat untuk menentukan kriteria pemuatan sebuah artikel. Kriteria yang disepakati: aktual, opini berdasar data, mengandung kebaruan, dan ringkas. Aktualitas masalah bisa dicari tahu dari kepala-kepala berita yang dimuat di berbagai media, atau peristiwa rutin yang berlangsung setiap tahun misalnya peristiwa Ramadan, Hari Buruh, dan lain-lain. Syarat aktualitas merupakan syarat pertama dalam penentuan pemuatan artikel di koran. Baru syarat-syarat berikutnya menyusul.
Syarat lain opini haruslah berdasarkan data dan fakta. Ini ibarat daging yang harus ada dalam sebuah menu makanan. Daging yang segar dan bergizi adalah unsur utama makanan yang bernama artikel. Selain itu opini juga harus memakai teori yang relevan untuk mengupas suatu peristiwa. Nah cara penyajian unsur-unsur utama tersebut bisa diibaratkan cara memasak. Daging boleh kelas nomor wahid, tapi kalau cara masak tidak canggih, ya tak akan menjadi masakan yang berkelas. Termasuk dalam cara masak tersebut adalah kekayaan bahasa, membangun struktur yang dimulai dari pemilihan judul, pembuatan lead, pemaparan masalah (bridging), pembahasan utama (body), dan penutup yang biasanya berisi kesimpulan, solusi atau pertanyaan.
Syarat lain menyangkut ruang pemuatan di media. Tren artikel sekarang tampaknya mengarah ke artikel pendek sepanjang 6 ribu karakter (with space). Situs Project Syndicate salah satu yang menerapkan aturan ini. Koran Tempo yang karena menjadi pionir koran compact (tabloid) menekankan betul aspek keringkasan ini, karena tuntutan zaman yang selalu bergegas. Karakter ringkas ini memaksa penulis artikel juga harus mampu menuangkan gagasannya secara to the point (langsung ke masalah), dalam arti lain pokok-pokok gagasan dan penyelesaian masalah diungkapkan dalam bentuk pointers (poin-poin).
Di luar syarat-syarat internal artikel (unsur dalam artikel), ada syarat-syarat eksternal misalnya menyangkut orisinalitas. Artikel yang dikirim ke media haruslah asli tulisan si penulis, bukan contekan apalagi plagiasi. Penulis yang ketahuan memplagiasi akan dimasukkan dalam daftar hitam oleh media dan akan sulit memperoleh kepercayaan kembali. Hal lain yang harus diperhatikan, penulis tidak sepantasnya mengirimkan satu tulisan ke beberapa media sekaligus. Ini juga menyangkut upaya menjaga kepercayaan.
Cara yang paling praktis untuk belajar menulis artikel sebetulnya cukup dengan mengamati tulisan orang-orang hebat di koran, seperti Indra J. Pilliang, Eep Saefullah Fatah, atau Joseph E. Stiglitz dari Project Syndicate. Amati unsur-unsurnya, pelajari cara memasaknya, tirulah cara mereka menulis, lalu buatlah improvisasi tambahan sendiri. Begitu, latih dan latihlah terus menerus. Jika menulis diibaratkan bermain musik, lihatlah cara berlatih Andre Indrawan. Juara gitar se-Asean ini berlatih gitar selama 8 jam setiap hari sebelum menjadi maestro. Anda, berapa jam sehari kuat untuk menulis? ***

Diambil dari :  Prime Guide

Tidak ada komentar:

Posting Komentar