Pada penulis yang sudah terbiasa
berurusan dengan mediamassa, menulis opini, esai, atau resensi bukan hal
yang sulit. Saking mudahnya, merekanampak produktif dengan menulis
cepat dan dalam waktu seminggu bisa dimuat beberapa naskah berbeda di
beberapa media yang berbeda. Ini berbeda dengan penulis pemula yang
sering berkutat dalam kebingungan dengan pertanyaan, “bagaimana supaya
naskah kita bisa dimuat.”
Pada prinsipnya naskah untuk mediamassa
mesti memperhatikan visi media tersebut. Dengan memahami visi tersebut,
kita bisa memahami arah redaktur yang menginginkan jenis naskah
tertentu. Masing-masing media memiliki visi yang berbeda karena setiap
mediamassa memiliki segmen pembaca yang berbeda.
Namun demikian bukan berarti setiap jenis
tulisan atau isi dari tulisan hanya layak untuk sebuah media. Misalnya
dalam artikel opini politik. Koran Harian Kompas, Media Indonesia, Sinar
Harapan, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka,
Koran Tempo dan beberapa koran lain bisa menampung visi yang sama. Letak
perbedaan yang menonjol pada opini politik pada koran-koran seperti itu
biasanya hanya pada soal bentuk dan panjang pendeknya tulisan.
Sedangkan secara umum visi media seperti itu tidak jauh berbeda. Artinya
manakala Anda menulis opini politik untuk kompas, bisa jadi itu layak
untuk mediaIndonesia.
Di muat atau tidaknya sebuah naskah pada
prinsipnya terletak pada bobot naskah itu sendiri. Sekalipun Anda
memiliki deretan gelar tetapi kalau tulisannya melanggar kaidah kaidah
penulisan rubrik tersebut tentu sulit untuk berharap dimuat. Sementara
seorang penulis yang tanpagelar sama sekali tetapi mampu menunjukkan
tulisan yang baik, akan mendapat tempat.
Di koran-koran Harian
mediamassamenyediakan rubrik opini yang setiap hari memberikan
kesempatan para penulis luar untuk mengirimkan naskahnya. Opini harian
ini selain membutuhkan kemampuan analisa yang baik juga membutuhkan
nilai aktualitas. Analisa yang baik tidak diukur dari latarbelakang
pendidikan (gelar), melainkan oleh basis logika dan arah pemikiran sang
penulis. Sedangkan aktualitas itu menyangkut kebutuhan nilai berita
dalam mediamassa.
Artinya, kita sulit berharap naskah
dimuat manakala topik yang diutarakan berseberangan dengan beberapa isu
yang sedang hangat di masyarakat. Memang tidak semua rubrik opini selalu
aktual. Sebagai contoh harian kompas yang dengan beberapa rubriknya
juga menyediakan ruang penulisan yang lepas tanpa mempertimbangkan sisi
aktualitas. Misalnya opini di rubrik humaniora yang terbit harian. Di
sana banyak ditemukan artikel tanpa nilai aktualitas sering muncul.
Selain menyediakan opini/artikel harian,
mediamassa juga secara khusus menyediakan rubrik lain semisal esai
budaya, sastra (fiksi, puisi) dan resensi buku atau film yang secara
khusus hadir pada hari libur, terutama minggu, atau sebagian pada hari
sabtu. Rubrik-rubrik tersebut juga memungkinkan kita untuk aktif
menulis.
Selain dibutuhkan mutu tulisan yang baik,
rubrik-rubrik tersebut juga mempertimbangkan nilai aktualitas. Hanya
saja aktualitasnya berbeda dengan rubrik opini harian.
Hubungan penulis dan Redaksi Media Massa
Menjabarkan satu persatu jenis naskah apa
yang dimuat dan tidak akan dimuat di mediamassa sebenarnya terlalu
rumit menginggat masing-masing media memiliki arah tersendiri. Sebanyak
kiat apapun tidak akan menjawab pertanyaan “bagaimana supaya naskah kita
dimuat” kalau kita tidak memahami secara langsung kebutuhan-kebutuhan
masing-masing media itu. Apakah dengan begitu kita harus kenal dekat
dengan penjaga redaksinya?
Mengenal dekat itu baik. Kita bisa
bertanya langsung kepada redaksinya sehingga kita mendapatkan penjelasan
yang detail. Biasanya kita bisa mengetahui hal itu saat bertemu dalam
forum antar redaksi dengan para penulis atau pembaca media-massa yang
bersangkutan, atau saat kita bertemu tanpa sengaja.
Tetapi menunggu ilmu dari dua hal tersebut sebenarnya tidak efektif. Apakah kita perlu menelpon untuk mengajak diskusi redaksi?
Agaknya hal ini juga sulit dilakukan dan
hanya akan menganggu bagian redaksi untuk menjelaskan satu kriteria
naskah dimuat atau tidaknya. Cara ini sangat tidak lazim dilakukan oleh
para penulis terhadap redaktur, kecuali jika sebelumnya ada hubungan
pertemanan yang akrab.
Karena ketiga hal di atas agaknya tidak
akan membantu langkah praktis, maka cara yang paling mungkin adalah
memahami arah media itu sendiri dengan terus memperhatikan rubrik-rubrik
tersebut. Dengan seringnya membaca kebiasaan media menurunkan isi
tulisan dari para penulis yang dimuat, kita akan tahu kebiasaan.dan
memang memahami kebiasaan itu lebih penting ketimbang sekedar tahu
criteria.
Banyak para penulis pemula, atau penulis
yang kurang jeli memahami media hanya bersandar para kriteria. Benar
kriteria itu penting. tetapi di atas criteria kita redaksi pada akhirnya
akan memilih naskah yang terbaik di antara naskah-naskah yang masuk.
Asumsinya setiap hari ada 10 naskah yang masuk ke dapur redaksi.
Dari 10 naskah tersebut redaksi harus
memutuskan 2 naskah saja yang bisa dimuat. Oleh karena itu, sekalipun 10
naskah tersebut masuk kriteria, pada akhirnya yang akan dipilih hanya 2
naskah saja. Maka, mau tidak mau kita harus paham terhadap situasi ini
sehingga kita harus mampu menghasilkan tulisan yang selain bersandar
pada criteria kebiasaan, juga harus memiliki nilai lebih di atas
rata-rata.
Setelah memahami pentingnya nilai
kualitas seperti ini, apakah setiap naskah yang ditolak adalah naskah
yang tidak berkualitas? Eit, tunggu dulu. Redaksi, sekalipun di dalamnya
memiliki kompetensi analisa yang baik, bukan berarti mereka adalah
dewan juri lomba. Sebagian awak redaksi hanya butuh seseorang yang
memegang keputusan untuk menilai mana naskah yang layak dimuat dan mana
yang tidak.
Karena adanya unsur subjektif inilah
terkadang faktor pertemanan, faktor selera atau bahkan mungkin juga
karena faktor kebetulan naskah bisa dimuat. Faktor pertemanan tidakusah
ditutup-tutupi, sebab antara penulis mediamassa dan redaktur adalah
spesies yang serumpun dalam pergaulan.
Para penulis yang dimuat di mediamassa,
selain memang memiliki kompetensi yang baik dalam menulis terkadang
didukung oleh faktor pertemanan. Ini bukan berarti selamanya hubungan
mereka bersifat kolusi, melainkan bisa juga bermakna positif.
Salahsatu makna positif dari hubungan
pertemanan itu misalnya, sang penulis-karena kedekatannya, -bisa
melayani kebutuhan redaksi dengan isu, tema dan kekuatan nilai tulisan
sehingga redaksi memperhatikan secara khusus, bahkan tidak jarang
menghubungi penulis untuk terus menulis. Seorang penulis yang sekalipun
kenal dekat dengan redaksi tidak berarti bisa mudah mendapat tempat.
Bahkan kalau seringnya penulis itu
mengirim naskah berkualitas jelek atau tidak sejalan dengan pakem media,
sang redaktur sendiri yang akan dibuat tidak enak. “Ini orang menulis
tanpa memperhatikan kebutuhan kami. Jadi sekalipun dia temanku aku
keberatan memuatnya,” kata seorang teman penulis yang bekerja sebagai
redaktur opini di mediamassa.”
Selain masalah di atas, ada juga faktor
lain yang menentukan dimuat atau tidaknya sebuah naskah. Bisa jadi
karena kebetulan tepat momentum dan cocok bagi redaksi sebuah naskah
yang tidak begitu bagus isinya harus dimuat. Biasanya hal ini terjadi
manakala redaksi tidak menemukan naskah lain dari para pengirim.
Tidak dimuat juga bukan berarti tidak
berkualitas atau tidak layak. Bisa jadi karena Anda telat mengirim
beberapa jam sebelum deadline redaksi sedangkan sebuah naskah yang sudah
dipilih terlanjur sudah masuk ruang edit dan siap naik cetak. Tidak
jarang redaktur mendapatkan naskah yang bagus tetapi karena datangnya
terlambat maka mereka dengan berat hati tidak bisa membuat naskah Anda
tersebut.
Di atas segala ketidakjelasan itu,
seorang penulis tidak boleh terlalu berkalkulasi rasional atas segala
hal.Ada baiknya berpikir positif bahwa kita menulis bukan semata tujuan
untuk dimuat di media yang kita inginkan. Sekiranya naskah tidak dimuat,
kita bisa segera melempar ke media lain yang kita anggap layak mendapat
kiriman naskah dari kita.***Diambil dari : Writer & Editor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar