Senin, 28 Mei 2012

Etika Politik (Catatan)

POTRET buram dunia politik di negara kita kian jelas terlihat dengan diketemukannya tidak sedikit kasus mafia hukum para elite politik yang dilakukan secara berjamaah. Pasalnya perilaku kriminal para pejabat publik ini berjalan secara sistematis dengan aktor besar sebagai pengaturnya. Politik memang penuhi misteri.
Prediksi yang seringkali meleset walau itu dari mulut seorang pakar sekalipun. Dunia politik adalah dunia bintang. Dunia pesta pora para binatang. Begitu kurang lebih bunyi syair lagu bang Iwan Fals dalam menggambarkan dunia politik kita.
Menyoal etika politik adalah sebuah keharusan yang ‘ain ketika dibaluti oleh konteks kenegaraan. Sekalipun dalam konsep keilmuwan, politik pun tak seharusnya dialpakan dari persoalan etika. Etika menyinggung perilaku yang seharusnya dilakukan sesuai dengan aturan norma-norma sosial yang berlaku. Etika politik berarti perilaku yang sesuai aturan main yang mesti diperankan oleh para politikus.
Namun apa dikata ketika konsep yang begitu ideal dilencengkan oleh oknum yang menamakan dirinya sebagai pejabat publik, wakil publik di parlemen, secara jelas dan tanpa malu-malu, maka wajar hukum pun tak lepas dari permainan kotor para politikus. Permasalahannya, kita selaku rakyat yang diwakili oleh wakil rakyat (katanya), seringkali percaya begitu saja pada mereka. Materi menjadi poin penting segala persoalan yang tercipta dan membentuk gunung es.
Coba tengok, sejatinya saat ini tak mungkin bagi rakyat yang menggunakan nalar serta sadar begitu saja mempercayai janji murahan nan busuk para pejabat publik di parlemen ketika awal pemilu (baca: kampanye). Kita akui materi-lah yang menjadi kendali otomatis yang berbahaya melebihi rudal balistik AS yang digempurkan ke wilayah Timur Tengah hingga porak-poranda.
Adalah William J Chambliss dalam On the Take; From Petty Crooks to Presidents (1978) dan Richard Quinney melalui Critique of Legal Order (1973) yang menggambarkan hukum sengaja dibuat dengan kecenderungan untuk menampung keinginan elite politik yang menguasai negara daripada mendamaikan kepentingan masyarakat luas. Namun harus diingat, persoalan bangsa adalah persoalan manusia, dan persoalan manusia adalah persoalan Tuhan Yang Maha Kuasa atas semua yang ada. Apabila nalar sudah tak lagi digunakan, maka hukum hakikatlah (baca: adzab) yang akan mengerjai nalar kita. Pengadilan Tuhan adalah mutlak kebenarannya.
Berbagai fenomena “tidak wajar” baik alam maupun politik yang senantiasa menaungi langit Indonesia sejatinya mampu menghidupkan nalar kita agar hukum hakikat (baca: adzab) tak menghentakan nurani ke jurang penyesalan. Akhirnya, siapa yang harus rela menjadi korban kebiadaban para pejabat publik busuk ketika manajerial sistem sudah tak lagi memihak terhadap kebenaran? Haruskah adzab Tuhan YME yang meluruskan kembali bahwa yang haq itu haq dan yang bathil itu tetap selamanya bathil? Semoga tidak! [Dian Kurnia]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar