POTRET buram dunia
politik di negara kita kian jelas terlihat dengan diketemukannya tidak
sedikit kasus mafia hukum para elite politik yang dilakukan secara
berjamaah. Pasalnya perilaku kriminal para pejabat publik ini berjalan
secara sistematis dengan aktor besar sebagai pengaturnya. Politik memang
penuhi misteri.
Prediksi yang seringkali meleset walau itu dari mulut
seorang pakar sekalipun. Dunia politik adalah dunia bintang. Dunia pesta
pora para binatang. Begitu kurang lebih bunyi syair lagu bang Iwan Fals
dalam menggambarkan dunia politik kita.
Menyoal etika politik adalah sebuah
keharusan yang ‘ain ketika dibaluti oleh konteks kenegaraan. Sekalipun
dalam konsep keilmuwan, politik pun tak seharusnya dialpakan dari
persoalan etika. Etika menyinggung perilaku yang seharusnya dilakukan
sesuai dengan aturan norma-norma sosial yang berlaku. Etika politik
berarti perilaku yang sesuai aturan main yang mesti diperankan oleh para
politikus.
Namun apa dikata ketika konsep yang
begitu ideal dilencengkan oleh oknum yang menamakan dirinya sebagai
pejabat publik, wakil publik di parlemen, secara jelas dan tanpa
malu-malu, maka wajar hukum pun tak lepas dari permainan kotor para
politikus. Permasalahannya, kita selaku rakyat yang diwakili oleh wakil
rakyat (katanya), seringkali percaya begitu saja pada mereka. Materi
menjadi poin penting segala persoalan yang tercipta dan membentuk gunung
es.
Coba tengok, sejatinya saat ini tak
mungkin bagi rakyat yang menggunakan nalar serta sadar begitu saja
mempercayai janji murahan nan busuk para pejabat publik di parlemen
ketika awal pemilu (baca: kampanye). Kita akui materi-lah yang menjadi
kendali otomatis yang berbahaya melebihi rudal balistik AS yang
digempurkan ke wilayah Timur Tengah hingga porak-poranda.
Adalah William J Chambliss dalam On the Take; From Petty Crooks to Presidents (1978) dan Richard Quinney melalui Critique of Legal Order
(1973) yang menggambarkan hukum sengaja dibuat dengan kecenderungan
untuk menampung keinginan elite politik yang menguasai negara daripada
mendamaikan kepentingan masyarakat luas. Namun harus diingat, persoalan
bangsa adalah persoalan manusia, dan persoalan manusia adalah persoalan
Tuhan Yang Maha Kuasa atas semua yang ada. Apabila nalar sudah tak lagi
digunakan, maka hukum hakikatlah (baca: adzab) yang akan mengerjai nalar
kita. Pengadilan Tuhan adalah mutlak kebenarannya.
Berbagai fenomena “tidak wajar” baik alam
maupun politik yang senantiasa menaungi langit Indonesia sejatinya
mampu menghidupkan nalar kita agar hukum hakikat (baca: adzab) tak
menghentakan nurani ke jurang penyesalan. Akhirnya, siapa yang harus
rela menjadi korban kebiadaban para pejabat publik busuk ketika
manajerial sistem sudah tak lagi memihak terhadap kebenaran? Haruskah
adzab Tuhan YME yang meluruskan kembali bahwa yang haq itu haq dan yang
bathil itu tetap selamanya bathil? Semoga tidak! [Dian Kurnia]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar