Senin, 28 Mei 2012

Pers Mengancam DPR? (REPUBLIKA, 22/2/2012)

RENCANA BURT (Badan Usulan Rumah Tangga) — salah satu alat kelengkapan DPR– membuat Tata Tertib (Tatib) Peliputan Jurnalis pada kegiatan DPR RI bagi wartawan media cetak dan elektronik adalah sebuah arogansi nyata dari badan publik terhadap awak media. Tatib ini akan menghambat corong demokrasi dan kebebasan pers serta mengaburkan transparansi kerja wakil rakyat di parlemen.
Aturan tersebut memuat pasal “sakit” tentang fungsi kontrol daripada pers.
Seperti mengharuskan setiap wartawan menyerahkan slip gaji penghasilan per bulan kepada Sekjen DPR. Hal yang tidak masuk akal dalam konteks negara demokratis. Beberapa kalangan berpendapat bahwa rencana tersebut berkaitan erat dengan ketakutan oknum anggota dewan atas terekamnya perilaku “amoral” beberapa anggota dari mereka oleh wartawan. Seperti nonton video porno, adu jotos antarfraksi, tidur sewaktu rapat, dan lain-lain. Benarkah DPR merasa terancam dengan keberadaan pers sehingga langkah mereka dipersempit untuk memasuki gedung parlemen?
Berdasarkan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
Dalam menjalankan tugas jurnalistik pers dilindungi oleh hukum negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Wartawan dilindungi dari tindak kekerasan, pengambilan, penyitaan atau perampasan alat kerja, tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak mana pun. Piagam Palembang lahir atas kesepakatan delapan belas pemimpin redaksi (pemred) pers nasional yang disaksikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di antara isinya adalah Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Wartawan dan Standar Kompetensi Wartawan.
Keniscayaan
Tanpa kebebasan pers –sebagaimana yang dikatakan novelis Prancis, Albert Camus– yang ada hanya celaka. Elite birokrasi di parlemen bisa dengan bebas berkonspirasi tanpa diketahui rakyat. Kecelakaan bagi negara dan rakyat karena transparansi di negara demokrasi dipertaruhkan. Sehingga pers sangat dibutuhkan untuk memantau parlemen. Kekebasan pers (freedom of the press) adalah sebuah keniscayaan di negara demokratis, Indonesia.
Pasal 4 ayat 2 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 menjelaskan: pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Hal ini juga diungkapkan oleh Presiden SBY pada peringatan HPN beberapa waktu lalu di Jambi, “Kami mendukung kebebasan pers, tetapi ketika kebebasan tersebut digunakan dengan baik dan bertanggung jawab.”
Sebagai pilar demokrasi, pers berperan sebagai jembatan komunikator antara pemerintah dan rakyat. Kebijakan pemerintah disebarkan lewat kerja wartawan. Oleh karena itu, sejatinya tak ada satu pun kebijakan pemerintah yang tersembunyi dari pandangan rakyat. Semua lapisan masyarakat dapat membaca dan melihat apa saja yang dilakukan wakil rakyat di parlemen. Bahkan sampai dokumen negara pun dapat dilihat langsung oleh rakyat. Ini berkat kerja wartawan yang mempublikasikan hasil peliputan (reporting) lewat media, baik cetak maupun elektronik. Hingga, tak ada ruang tertutup bagi rakyat. Semua lapisan bisa mengakses tiap sudut ruangan di gedung DPR RI.
Oleh karena itu, langkah “tak cerdas” DPR menyusun Tata Tertib Peliputan Jurnalis –yang sarat dengan restriksi atau pembatasan— hanya dapat memicu keretakan informasi arus kebijakan pemerintah terhadap rakyat. Sebagaimana hasil riset Amartya Kumar Sen dalam bukunya Development as Freedom (1999), bahwa bencana kelaparan lebih banyak ditentukan oleh sistem administrasi dan distribusi pangan, ketimbang kelangkaan pangan atau gagal panen. Artinya, informasi amat sentral dalam mendorong gerak laju pembangunan.
Pada jaman Hindia Belanda pernah diberlakukan 35 pasal yang bisa menggiring orang ke penjara karena berekpresi secara bebas, baik itu berupa tulisan maupun lisan. Dari ke-35 pasal itu, pelaku yang dianggap melakukan pelanggaran terancam hukuman maksimal tujuh tahun penjara. Zaman Orde Baru berkuasa lebih “sadis” lagi. Regulasi tersebut dinaikkan menjadi 37 pasal dengan ancaman hukuman seumur hidup. Pasca-Orde Baru, ancaman tertinggi dari pasal-pasal tersebut adalah hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Mengapa hal itu harus terjadi? Bukankah kebebasan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi diakui dalam konstitusi kita (pasal 28F UUD 45 amandemen keempat) serta pasal 19 Deklarasi Universal HAM?
Era reformasi adalah era kebebasan pers. Era di mana publik beserta awak media –dengan tidak melupakan hukum– menyuarakan pendapat di muka umum tanpa harus ada restriksi. Rencana BURT memberlakukan Tata Tertib Peliputan Jurnalis bagi wartawan di gedung DPR RI hendaknya perlu dikaji ulang. Pers bukanlah ancaman bagi parlemen, jika mereka berfikir. Pers menggandeng parlemen dalam menjalankan amanat konstitusi. Tentunya berlandaskan semangat perubahan. Jangan sampai publik, lewat awak media, mencemooh kinerja memble DPR untuk kesekian kalinya.■

Dian Kurnia, Mahasiswa Sejarah UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar