Minggu, 27 Mei 2012

Haruskah Kita Golput?

SEBAGAI negara demokrasi, Indonesia menyediakan ruang gerak seluas-luasnya bagi publik untuk bersuara dan berpendapat dengan tidak melepaskan diri dari aturan yang berlaku (Konteks pasal 28E ayat 3 UUD 1945). Pun demikian dengan Pemilihan umum (pemilu). Sebagai salah satu pilar negara demokrasi, pemilu sudah sejak lama berjalan di negara kita.
Di setiap momen pemilihan calon kepala daerah (pilkada) atau pemilihan presiden (pilpres), pemilu dijalankan oleh masyarakat penuh antusias. Masa kampanye menandai dimulainya pesta demokrasi terbesar di seluruh pelosok negeri.  
Begitulah kira-kira rutinitas musiman sektor birokrasi negara kita yang bernama pemilu. Dengan azas “Luber” (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia) di rezim Orba, serta “Jurdil” (Jujur dan adil) di era reformasi, momen pemilu diharapkan mampu menghasilkan sosok pemimpin  ideal yang berintegritas tinggi serta berkepribadian matang, juga memiliki kemauan kuat untuk bekerja keras membangun bangsa dan negara dari keterpurukan. Sosok seperti ini sering terihat di awal masa kepemimpinan.
Tercatat, pasca kemerdekaan RI tahun 1945 hingga sekarang, negara kita telah melaksanakan pemilu sebanyak sembilan kali (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 2004, dan 2009). Beberapa kandidat maju untuk mencalonkan dirin menjadi seorang pemimpin. Semua balon (bakal calon) “beradu” visi-misi di masa kampanye. Mengumbar janji-janji perubahan yang hebat. Rakyat pun terkesima. Tertarik untuk memilih dan mencoblos calon yang paling sreg di hati. Namun tidak sedikit dari mereka yang ketika terpilih menjadi pemimpin dengan teganya mengingkari semua janji suci yang telah diikrarkan semasa pemilu. Hal ini menjadi entry point yang perlu digaris bawahi oleh semua elemen untuk lebih bernurani ketika mencoblos di bilik suara.
Secara umum, kampanye merupakan bentuk komunikasi publik yang dilakukan oleh “balon” dengan tujuan untuk mengajak massa mengikuti visi dan misi juru kampenye. Di Indonesia, dan negara-negara lain, kampanye menjadi momen penting bagi rakyat untuk menentukan perubahan hidup lima tahun ke depan. Di sinilah peran kita sebagai warga negara yang baik yang memiliki kebebasan bersuara dan berekspresi diuji tanpa adanya intervensi dari pihak manapun.  Kita dituntut untuk memilih dan memilah calon yang berkualitas yang nantinya akan mengakomodasi semua keluh kesah kita sebagai rakyat. Apakah hanya untuk perubahan sesaatkah, atau untuk perubahan jangka panjang. Sayangnya, tidak sedikit pemilih yang terjerat praktik politik uang.
Kendati demikian, tak sedikit juga dari pemilih yang secara sadar menggunakan hak pilihnya secara proporsional. Mengutamakan akal sehat dalam memilih calon pemimpin. Menggali sisi kehidupan pribadi “balon” secara objektif. Namun, ada pemilih yang enggan menggunakan hak suaranya, istilahnya Golput atau Golongan Putih. Istilah yang diperuntukan bagi mereka yang tidak menggunakan hak suaranya dalam pemilihan umum. Alasannya beragam, dari alasan ideologi, ras, ekonomi, hingga agama. Namun yang pasti, golput terjadi karena rakyat muak dan tidak percaya lagi kepada kualitas leadership para pemimpin. Melihat kenyataan ini lalu muncul pertanyaan, haruskah kita golput?
Bukan rahasia umum jika masa kampanye sering dijadikan ajang hura-hura dan sogok-menyogok. Contoh sederhana, tim sukses salah satu “balon” mengadakan hiburan, semacam konser dangdut, untuk menarik simpati massa, lalu membagikan “gonimah” kepada yang hadir dengan perjanjian harus memilih si A. Tak ayal, masyarakat pun mengapresiasi transaksi tersebut sebagai bentuk perhatian (caring). Mengingat, mayoritas masyarakat di dapil adalah masyarakat kurang mampu dalam hal ekonomi. Maka, terciptalah transaksi politik uang antara tim sukses dengan rakyat (pemilih). Rakyat yang cerdik akan menerima “gonimah” tersebut dengan tangan terbuka. Walau ketika hari H tiba mereka tidak memilih siapa pun alias golput. Ini realitas masyarakat kita.
Janji para pemimpin untuk kesejahteraan hanya sebatas pada wacana. Tidak ada realisasi nyata. Potret kemiskinan, kebodohan, pengangguran, penggusuran lahan, kriminalisme, serta bentuk patologi sosial lainnya masih marak terjadi di tengah masyaraka. Bahkan menjadi top isu di beberapa media massa baik lokal maupun nasional. Hal ini menjadi alasan kuat bagi rakyat untuk golput. Alhasil, masyarakat menjadi apatis terhadap negara. Dan menimbulkan gejala depresi sosial dikarenakan rusaknya moral para pejabat. Hingga, rakyat menerapkan hukum rimba di tengah belantara kehidupan sosial yang kian semrawut akibat ulah koruptor. Dan parlemen dicap sebagai sarang penyamun, bunker mafia hukum, dan episentrum para koruptor.

Belajar dari sejarah
Pemilu dalam konteks negara demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Hal ini menjadi syarat minimum bagi negara jika ingin dikatakan sebagai negara demokrasi. Tentunya pemilu yang dilandasi oleh asas “Luber” dan “Jurdil”. Mengedepankan nilai-nilai humanity dalam berkompetisi. Menjauhi sikap federalisme akut yang hanya akan berbuntut pada aksi-aksi penistaan terhadap nilai-nilai demokrasi itu sendiri, seperti: pemerkosaan, penjarahan, pembunuhan, dan lain-lain.
Sejarah mencatat, pemilu pertama tahun 1955 (yang seharusnya dilakukan tahun 1946) adalah prototype ideal dari pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak serta merta menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Tapi lihat sekarang. Setiap anggota dalam satu fraksi adu jotos hingga melukai nurani rakyat yang telah memilihnya.
Pemilu tahun 1955, sebagai salah satu contoh, jauh dari kesan kotor sebagaimana terjadi dewasa ini seperti suap menyuap, pungli, black campaign dan lain-lain. Hingga mengakibatkan konflik antar simpatisan partai. Seperti yang pernah terjadi di Kabupaten Puncak Jaya, Papua, Juli 2011 yang telah menewaskan lebih dari 60-an orang secara sia-sia.
Mengutip pernyataan Soekarno, “Dengan terbitnya matahari kebangsaan Indonesia (Sumpah Pemuda 1928) yang bulat dan bersatu, hilanglah hak sejarah bagi ide provinsialisme, ide insularisme, dan ide federalisme. Maka barangsiapa sekarang ini membangkitkan kembali ide-ide tersebut, ia seperti orang yang menggali kubur dan mencoba menghidupkan kembali tulang orang-orang yang dikubur berpuluh-puluh tahun yang lampau.” Akhirnya, JAS MERAH! Jangan sekali-kali melupakan nilai kejujuran dalam sejarah. Belajarlah dari sejarah bangsa. Jangan sampai kita mengidap amnesia sejarah. Hingga tak ada lagi istilah golput di setiap momen pemilihan umum untuk esok dan seterusnya. Tentunya, negara akan terbebas dari jeratan kesialan. Semoga. [Dian Kurnia]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar