SEBAGAI negara demokrasi,
Indonesia menyediakan ruang gerak seluas-luasnya bagi publik untuk
bersuara dan berpendapat dengan tidak melepaskan diri dari aturan yang
berlaku (Konteks pasal 28E ayat 3 UUD 1945). Pun demikian dengan
Pemilihan umum (pemilu). Sebagai salah satu pilar negara demokrasi,
pemilu sudah sejak lama berjalan di negara kita.
Di setiap momen
pemilihan calon kepala daerah (pilkada) atau pemilihan presiden
(pilpres), pemilu dijalankan oleh masyarakat penuh antusias. Masa
kampanye menandai dimulainya pesta demokrasi terbesar di seluruh pelosok
negeri.
Begitulah kira-kira rutinitas musiman sektor
birokrasi negara kita yang bernama pemilu. Dengan azas “Luber”
(Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia) di rezim Orba, serta “Jurdil” (Jujur
dan adil) di era reformasi, momen pemilu diharapkan mampu menghasilkan
sosok pemimpin ideal yang berintegritas tinggi serta berkepribadian
matang, juga memiliki kemauan kuat untuk bekerja keras membangun bangsa
dan negara dari keterpurukan. Sosok seperti ini sering terihat di awal
masa kepemimpinan.
Tercatat, pasca kemerdekaan RI tahun 1945
hingga sekarang, negara kita telah melaksanakan pemilu sebanyak sembilan
kali (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 2004, dan 2009).
Beberapa kandidat maju untuk mencalonkan dirin menjadi seorang pemimpin.
Semua balon (bakal calon) “beradu” visi-misi di masa kampanye.
Mengumbar janji-janji perubahan yang hebat. Rakyat pun terkesima.
Tertarik untuk memilih dan mencoblos calon yang paling sreg di hati. Namun tidak sedikit dari mereka yang ketika terpilih menjadi pemimpin dengan teganya mengingkari semua janji suci yang telah diikrarkan semasa pemilu. Hal ini menjadi entry point yang perlu digaris bawahi oleh semua elemen untuk lebih bernurani ketika mencoblos di bilik suara.
Secara umum, kampanye merupakan bentuk
komunikasi publik yang dilakukan oleh “balon” dengan tujuan untuk
mengajak massa mengikuti visi dan misi juru kampenye. Di Indonesia, dan
negara-negara lain, kampanye menjadi momen penting bagi rakyat untuk
menentukan perubahan hidup lima tahun ke depan. Di sinilah peran kita
sebagai warga negara yang baik yang memiliki kebebasan bersuara dan
berekspresi diuji tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Kita
dituntut untuk memilih dan memilah calon yang berkualitas yang nantinya
akan mengakomodasi semua keluh kesah kita sebagai rakyat. Apakah hanya
untuk perubahan sesaatkah, atau untuk perubahan jangka panjang.
Sayangnya, tidak sedikit pemilih yang terjerat praktik politik uang.
Kendati demikian, tak sedikit juga dari
pemilih yang secara sadar menggunakan hak pilihnya secara proporsional.
Mengutamakan akal sehat dalam memilih calon pemimpin. Menggali sisi
kehidupan pribadi “balon” secara objektif. Namun, ada pemilih yang
enggan menggunakan hak suaranya, istilahnya Golput atau Golongan Putih.
Istilah yang diperuntukan bagi mereka yang tidak menggunakan hak
suaranya dalam pemilihan umum. Alasannya beragam, dari alasan ideologi,
ras, ekonomi, hingga agama. Namun yang pasti, golput terjadi karena
rakyat muak dan tidak percaya lagi kepada kualitas leadership para pemimpin. Melihat kenyataan ini lalu muncul pertanyaan, haruskah kita golput?
Bukan rahasia umum jika masa kampanye sering
dijadikan ajang hura-hura dan sogok-menyogok. Contoh sederhana, tim
sukses salah satu “balon” mengadakan hiburan, semacam konser dangdut,
untuk menarik simpati massa, lalu membagikan “gonimah” kepada yang hadir
dengan perjanjian harus memilih si A. Tak ayal, masyarakat pun
mengapresiasi transaksi tersebut sebagai bentuk perhatian (caring).
Mengingat, mayoritas masyarakat di dapil adalah masyarakat kurang mampu
dalam hal ekonomi. Maka, terciptalah transaksi politik uang antara tim
sukses dengan rakyat (pemilih). Rakyat yang cerdik akan menerima
“gonimah” tersebut dengan tangan terbuka. Walau ketika hari H tiba
mereka tidak memilih siapa pun alias golput. Ini realitas masyarakat
kita.
Janji para pemimpin untuk kesejahteraan
hanya sebatas pada wacana. Tidak ada realisasi nyata. Potret kemiskinan,
kebodohan, pengangguran, penggusuran lahan, kriminalisme, serta bentuk
patologi sosial lainnya masih marak terjadi di tengah masyaraka. Bahkan
menjadi top isu di beberapa media massa baik lokal maupun nasional. Hal
ini menjadi alasan kuat bagi rakyat untuk golput. Alhasil, masyarakat
menjadi apatis terhadap negara. Dan menimbulkan gejala depresi sosial
dikarenakan rusaknya moral para pejabat. Hingga, rakyat menerapkan hukum
rimba di tengah belantara kehidupan sosial yang kian semrawut akibat
ulah koruptor. Dan parlemen dicap sebagai sarang penyamun, bunker mafia
hukum, dan episentrum para koruptor.
Belajar dari sejarah
Pemilu dalam konteks negara demokrasi adalah
sebuah keniscayaan. Hal ini menjadi syarat minimum bagi negara jika
ingin dikatakan sebagai negara demokrasi. Tentunya pemilu yang dilandasi
oleh asas “Luber” dan “Jurdil”. Mengedepankan nilai-nilai humanity
dalam berkompetisi. Menjauhi sikap federalisme akut yang hanya akan
berbuntut pada aksi-aksi penistaan terhadap nilai-nilai demokrasi itu
sendiri, seperti: pemerkosaan, penjarahan, pembunuhan, dan lain-lain.
Sejarah mencatat, pemilu pertama tahun 1955 (yang seharusnya dilakukan tahun 1946) adalah prototype
ideal dari pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Meski yang menjadi calon
anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah,
mereka tidak serta merta menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya
kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan
partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai
pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara.
Tapi lihat sekarang. Setiap anggota dalam satu fraksi adu jotos hingga
melukai nurani rakyat yang telah memilihnya.
Pemilu tahun 1955, sebagai salah satu
contoh, jauh dari kesan kotor sebagaimana terjadi dewasa ini seperti
suap menyuap, pungli, black campaign dan lain-lain. Hingga
mengakibatkan konflik antar simpatisan partai. Seperti yang pernah
terjadi di Kabupaten Puncak Jaya, Papua, Juli 2011 yang telah menewaskan
lebih dari 60-an orang secara sia-sia.
Mengutip pernyataan Soekarno, “Dengan
terbitnya matahari kebangsaan Indonesia (Sumpah Pemuda 1928) yang bulat
dan bersatu, hilanglah hak sejarah bagi ide provinsialisme, ide
insularisme, dan ide federalisme. Maka barangsiapa sekarang ini
membangkitkan kembali ide-ide tersebut, ia seperti orang yang menggali
kubur dan mencoba menghidupkan kembali tulang orang-orang yang dikubur
berpuluh-puluh tahun yang lampau.” Akhirnya, JAS MERAH! Jangan
sekali-kali melupakan nilai kejujuran dalam sejarah. Belajarlah dari
sejarah bangsa. Jangan sampai kita mengidap amnesia sejarah. Hingga tak
ada lagi istilah golput di setiap momen pemilihan umum untuk esok dan
seterusnya. Tentunya, negara akan terbebas dari jeratan kesialan.
Semoga. [Dian Kurnia]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar