Minggu, 27 Mei 2012

Korupsi "Bawah-Atas"

MENARIK menyimak tulisan opini di salah satu harian nasional berjudul Korupsi “Level Bawah”. Korupsi jenis ini, menurut penulis, lebih berbahaya daripada korupsi level atas. Karena korupsi dalam persfektif apa pun adalah kejahatan luar biasa yang harus diberantas hingga habis. Pelakunya harus dihukum berat, tanpa tebang pilih.

Namun, apa yang terjadi di negeri ini. Ramainya praktik korupsi di hampir semua tingkatan kehidupan kian memupuk pesimisme kita terhadap kinerja pemerintahan SBY-Boediono. Pemerintah telah gagal di mata rakyat.
Sedikitnya ada empat poin penting perihal kegagalan negara di mata rakyat. Pertama, hingga saat ini pemerintah dianggap kurang cakap mengurus penyelesaian sengketa pertanahan. Kedua, meski menyandarkan pemasukan Negara dari proses produksi dan ekspor komoditas yang dihasilakan para buruh, pemerintah dinilai tidak bisa menyelesaikan perselisihan perburuhan. Ketiga, pemerintah tidak bisa menjamin hak hidup ataupun beribadah warga minoritas. Keempat, ketidakseriusan pemerintah menuntaskan kasus-kasus korupsi yang melibatkan personel ketiga institusi negara, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Konflik yang baru-baru ini terjadi di beberapa tempat, seperti di Sidomulyo, Mesuji, Bima, PT. Freeport, dan terakhir aksi blokir tol oleh kawanan buruh di Bekasi, merupakan indikasi kegagalan negara. Hal ini terjadi karena bobroknya mental kebangsaan (nasionalisme) akibat budaya korupsi yang sudah sangat kronis. Ketidakpuasan rakyat terhadap (kinerja) pemerintah dalam menjalankan fungsinya sering berbuntut aksi anarkis. Rakyat menjadi beringas. Muak dengan “ketidakbecusan” pemerintah. Hingga, segala cara mereka lakukan demi tercapainya tuntutan dan keinginan. Cerdas memahami tuntutan rakyat dengan tidak bertindak refresif adalah langkah awal baik pemerintah. Setidaknya akan memutus mata rantai permasalahan baru yang lebih besar lagi.
Mental sosial anti korupsi memang sulit dibentuk. Disamping karena adanya contoh dari pejabat di parlemen, sikap permisif rakyat terhadap budaya korup juga disebabkan oleh murahnya harga hukum di depan pengadilan. William J Chambliss dalam On the Take; From Petty Crooks to Presidents (1978) dan Richard Quinney melalui Critique of Legal Order (1973) menggambarkan hukum sengaja dibuat dengan kecenderungan untuk menampung keinginan segelintir elite politik yang menguasai negara daripada menuruti kepentingan dan kehendak rakyat. Tesis ini faktual untuk konteks hukum di Indonesia. Keberpihakan hukum cenderung lebih besar kepada mereka yang berharta dan berpengaruh besar. Sementara rakyat jelata dibiarkan terengah-engah dikejar jeratan kasus tak berkesudahan.
Persoalan bangsa adalah persoalan manusia, dan persoalan manusia adalah persoalan Tuhan. Manusia selalu bermasalah dengan aturan Tuhan. Sebab, masalah manusia merupakan bentuk kuasa Tuhan. Pemimpin (khalifah) yang sejatinya mampu memakmurkan rakyat, malah menyengsarakan. Wajar, apabila nalar sudah tak lagi digunakan, maka hukum hakikatlah bekerja. Ketika hukum negara sudah sedemikian kronis dipreteli gigi taringnya oleh mafia hukum, maka bencanalah yang akan bertindak. Korupsi level bawah sudah tersebar merata di setiap lapisan masyarakat kita. Masyarakat menganggap bahwa yang dimaksud dengan korupsi itu yaitu penyelewengan bernilai miliaran ke atas. Aneka pungli atau komisi kecil-kecilan ini dinilai bukan sebagai korupsi tetapi dianggap sebagai perilaku indisipliner aparat publik. Hingga terbentuklah opini publik tentang lumrahnya praktik ini.
Dari pengalaman sebagai anak PNS, penulis sedikit banyak menyaksikan praktek korupsi kecil-kecilan ini. Misalnya, ketika menyerahkan berkas sertifikasi ke pihak Mutendik (Mutu Tenaga Kependidikan) di kota, petugas kantor memintai sejumlah “dana” yang katanya digunakan untuk administrasi. Lho, kok? Penulis heran karena berdasarkan informasi yang diperoleh, tidak ada biaya apa pun dalam proses sertifikasi. Parahnya ada yang mencapai hingga satu juta rupiah untuk satu orang peserta. Nominal yang (mungkin) tidak kecil di mata guru setingkat SD dan SMP. Praktik ini telah membudaya. Kelulusan sertifikasi menjadi taruhan jika ada yang berani sompral mengadu ke badan hukum. Maka wajar jika profesionalisme guru sebagai tenaga pendidik kian memudar tergerus praktek pungli ini. Atas dasar kenyataan inilah, kita perlu menginstal ulang mentalitas keduniaan dengan sedini mungkin menerapkan sikap jujur kepada generasi penerus setelah kita. [Dian Kurnia]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar