MAHASISWA sejatinya berperan sebagai agen perubahan sosial
(agent of social change). Mengontrol dan meluruskan segala macam kebijakan
pemerintah yang menyimpang dari jalur demokrasi yang konon katanya adil dan
beradab. Hal ini terlihat jelas pada
peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974 dan penggulingan Soeharto pada
Mei 1998. Mahasiswa dengan berbekal semangat perubahan, menghunuskan pedang
revolusi kepada pemimpin negeri yang nakal.
Mahasiswa bergerak dan turun ke
jalan ketika terjadi penindasan terhadap rakyat, penyelewengan aset dan
kekayaan negara, serta pengebirian hak-hak azasi manusia.
Selain mengalami penurunan semangat untuk melawan
ketidakadilan pemerintah, perjuangan pergerakan mahasiswa saat ini juga sudah
keluar dari jalur yang semestinya dilalui karena tidak lagi konsisten dengan
arah dan tujuan perjuangan mahasiswa yang sesungguhnya. Mahasiswa sudah tidak
lagi memiliki idealisme dalam pergerakannya. “Harus dikembalikan ke khitohnya,
yaitu memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsa di atas kepentingan kelompok
dan golongan tertentu,” terang Danial Nafis. Pemerintah yang saat ini berkuasa
perlu mendapatkan monitoring yang lebih ketat lagi, agar tidak terjadi penyalahgunaan
kekuasaan demi kepentingan politik kelompok mereka. Realita sosial sudah banyak
memberikan bukti-bukti nyata akan hal ini. Banyak tindakan penyimpangan dan
kriminalitas yang dilakukan oleh para pejabat elit pemerintahan secara
berjamaah dan terus-menerus. Sedangkan rakyat dibiarkan tergolek lemah, hak dan
kemerdekaannya tidak diperjuangkan secara serius.
Saya cenderung melihat, pemerintahan pada kabinet
SBY-Boediono menyerupai pemerintahan pada zaman Orde Baru dengan pucuk pimpinan
Soeharto yang otoriter. Meskipun secara procedural belum bisa dikatakan sebagai
sebuah rezim, melihat masa kepemimpinannya SBY-Boediono masih relatif muda,
belum menginjak tahun ke sepuluh. Kenyataan ini diperkuat dengan pernyataan
anggota Presidium Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) Rully. Ia
menyatakan bahwa “Pemerintahan saat ini seperti rezim orba jilid dua saja,”.
Menurutnya, Gerakan mahasiswa saat ini perlu bekerja dua
kali lipat dibanding dengan gerakan mahasiswa pada tahun 1998 silam. “Orde Baru
menggunakan cara kekerasan yang kontras dan terarah, tetapi yang sekarang lebih
halus dan sistematis, sehingga kita tidak sadar dibuatnya”, tambah Rully.
Hemat saya, potret semacam ini lebih berbahaya lagi bagi
kelangsungan hidup masyarakat Indonesia kedepannya. Masyarakat sudah terlalu
sering dibodohi oleh mereka yang mengatasnamakan kesejahteraan dengan
mengiming-imingi materi demi kepentingan politik praktis mereka. Saya rasa,
perlu adanya pendidikan politik yang lebih komprehensif bagi masyarakat luas
agar masyarakat lebih mengerti dan faham akan realitas yang sesungguhnya, serta
supaya masyarakat bisa merespon realita ini secara proporsional.
Perlu pembinaan karakter
Kasus yang terjadi di Indonesia, banyak ketidakpuasan
disalurkan dengan jalan kekerasan, anarkisme, dan penjarahan aset sipil, yang
sejatinya tidak harus terjadi dalam entitas kenegaraan Republik Indonesia yang
menjungjung tinggi konsep budi luhur dan sopan santunnya. Ironisnya, pergerakan
mahasiswa dalam aksi demonstrasi baru-baru ini mendapat sorotan lebih tajam
dari berbagai lapisan masyarakat. Beberapa kelompok mahasiswa bergerak lebih
mengedepankan kekerasan daripada mediasi secara diplomatif. Aspek nalar
intelektual tidak lagi mendominasi suasana pergerakan mahasiswa saat ini.
Menurut saya, hal ini bukan tanpa faktor yang
melatarbelakanginya. Berbagai isu politik menjadi dugaan akan fenomena ini.
Pergerakan mahasiswa lebih diarahkan sebagai tameng politik agenda komunitas
tertentu. Mereka dijadikan alat propaganda politik praktis yang sarat akan
kecurangan dan ketidak etisan oleh para mafia hukum.
Mahasiswa saat ini banyak digunakan sebagai penyukses
kepentingan politik semata. Idealisme yang seharusnya tertanam dalam jiwa
mahasiswa, sudah mulai hilang karena tuntutan materi yang semakin besar. Hal
ini berdampak pada produktivitas mahasiswa dalam kegiatan keilmuwan
(penelitian).
Kampus sebagai basis keilmuwan, pusat peradaban, tempat
membangun mental dan watak juang, berangsur-angsur mulai tergerus oleh
ketidakkonsistenan pemerintah dalam membina dan mengarahkan tradisi keilmuwan.
Moeflich Hasbullah, salah satu dosen PTN di kota Bandung menyatakan bahwa
nepotisme pejabat kampus, dominasi politik praktis di kampus, dan juga
kurangnya budaya baca di kalangan mahasiswa menjadi faktor penyebab biasnya
arah pergerakan mahasiswa sebagai pendekar moral dan politik.
Proporsionalitas dan profesionalitas
Pembiasan arah pergerakan mahasiswa saat ini sudah mulai
terasa dengan sikap apatis terhadap realita yang ada. Gerakan-gerakan
revolusioner mahasiswa yang dulu pernah muncul pada masa pergerakan nasional
pasca kemerdekaan melawan rezim yang pro terhadap komunis lebih nyata dan
terarah, kini seakan sirna ditelan budaya hedonis dan materialistis. Dulu,
mereka memiliki musuh bersama yang dijadikan objek sasaran
pelurusan akan ketimpangan kebijakannya.
Berbagai ketimpangan politik yang terjadi di Negara ini
telah berhasil dibereskan oleh gerakan mahasiswa tempo dulu. Meskipun harus
mengorbankan jiwa dan raga serta materi yang tidak sedikit, mereka konsisten
dengan idealismenya melawan pemimpin ketidakadilan kebijakan pemerintah.
Dengan lahirnya tritura misalnya, hal ini merupakan salah
satu agenda keberhasilan mahasiswa Indonesia dalam mematikan gerakan komunis
yang sudah mempropaganda para pemimpin bangsa dan elemen bangsa lainnya
sehingga timbullah pemberontakan PKI pada tahun 1965 dengan terbunuhnya 7
jenderal Angkatan Darat. Dalam hal ini, demonstrasi mahasiswa selain bertujuan
untuk menekan pemerintah, difungsikan juga sebagai penguling
kekuasaan yang tidak pro terhadap kesejahteraan rakyat.
Dengan lebih mengedepankan aspek proporsionalitas dan
profesionalitas, gerakan mahasiswa, akan lebih memfokuskan diri pada sasaran
tembak yang sama (common enemy), yakni oknum penjahat pemerintah yang secara
sistematis dan halus telah mengebiri kepentingan dan hak-hak warga sipil.
Akhirnya perlu kita memperhatikan lagi status dan fungsi,
serta peran kita dalam mengisi kemerdekaan ini, tujuannya agar perjuangan dan
pengorbanan para pahlawan dulu tidak seolah-olah kita hianati dan biarkan
begitu saja. Mengutip pernyataan Yudi
Latif, Direktur Reform Institute, bahwa, "Dalam mengisi kemerdekaan ini, dengan
semangat Pancasila sebagai sebuah aturan yang mengatur moral publik, kita
sejatinya segera mengambil peran sesuai dengan kapasitas kita sebagai insan
akademik. Sehingga, arah pergerakan kita akan lebih terarah dan proporsional". [Dian Kurnia]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar