Minggu, 27 Mei 2012

Arah Pergerakan Mahasiswa

MAHASISWA sejatinya berperan sebagai agen perubahan sosial (agent of social change). Mengontrol dan meluruskan segala macam kebijakan pemerintah yang menyimpang dari jalur demokrasi yang konon katanya adil dan beradab.  Hal ini terlihat jelas pada peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974 dan penggulingan Soeharto pada Mei 1998. Mahasiswa dengan berbekal semangat perubahan, menghunuskan pedang revolusi kepada pemimpin negeri yang nakal.
Mahasiswa bergerak dan turun ke jalan ketika terjadi penindasan terhadap rakyat, penyelewengan aset dan kekayaan negara, serta pengebirian hak-hak azasi manusia.
Sejak era reformasi Mei 1998, gerakan mahasiswa seolah tidak lagi solid dan terarah.  Gerakan mahasiswa telah mengalami penurunan semangat karena dikotomi kepentingan politik praktis. Tidak sedikit mahasiswa turun ke jalan hanya mendapatkan rasa lapar, cape, haus, dan menimbulkan konflik horizontal semata. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Pelajar Indonesia (GMPI) Danial Nafis, pada sesi diskusi berjudul “Arah Posisi Germa Terhadap Pemerintahan SBY-Boediono“, di Galeri Cafe, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada tanggal 9 September 2009 silam, ia menyatakan, “Seperti telah terjadi degradasi atau penurunan semangat perjuangan gerakan mahasiswa sekarang”.
Selain mengalami penurunan semangat untuk melawan ketidakadilan pemerintah, perjuangan pergerakan mahasiswa saat ini juga sudah keluar dari jalur yang semestinya dilalui karena tidak lagi konsisten dengan arah dan tujuan perjuangan mahasiswa yang sesungguhnya. Mahasiswa sudah tidak lagi memiliki idealisme dalam pergerakannya. “Harus dikembalikan ke khitohnya, yaitu memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsa di atas kepentingan kelompok dan golongan tertentu,” terang Danial Nafis. Pemerintah yang saat ini berkuasa perlu mendapatkan monitoring yang lebih ketat lagi, agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan politik kelompok mereka. Realita sosial sudah banyak memberikan bukti-bukti nyata akan hal ini. Banyak tindakan penyimpangan dan kriminalitas yang dilakukan oleh para pejabat elit pemerintahan secara berjamaah dan terus-menerus. Sedangkan rakyat dibiarkan tergolek lemah, hak dan kemerdekaannya tidak diperjuangkan secara serius.
Saya cenderung melihat, pemerintahan pada kabinet SBY-Boediono menyerupai pemerintahan pada zaman Orde Baru dengan pucuk pimpinan Soeharto yang otoriter. Meskipun secara procedural belum bisa dikatakan sebagai sebuah rezim, melihat masa kepemimpinannya SBY-Boediono masih relatif muda, belum menginjak tahun ke sepuluh. Kenyataan ini diperkuat dengan pernyataan anggota Presidium Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) Rully. Ia menyatakan bahwa “Pemerintahan saat ini seperti rezim orba jilid dua saja,”.
Menurutnya, Gerakan mahasiswa saat ini perlu bekerja dua kali lipat dibanding dengan gerakan mahasiswa pada tahun 1998 silam. “Orde Baru menggunakan cara kekerasan yang kontras dan terarah, tetapi yang sekarang lebih halus dan sistematis, sehingga kita tidak sadar dibuatnya”,  tambah Rully.
Hemat saya, potret semacam ini lebih berbahaya lagi bagi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia kedepannya. Masyarakat sudah terlalu sering dibodohi oleh mereka yang mengatasnamakan kesejahteraan dengan mengiming-imingi materi demi kepentingan politik praktis mereka. Saya rasa, perlu adanya pendidikan politik yang lebih komprehensif bagi masyarakat luas agar masyarakat lebih mengerti dan faham akan realitas yang sesungguhnya, serta supaya masyarakat bisa merespon realita ini secara proporsional.

Perlu pembinaan karakter
Kasus yang terjadi di Indonesia, banyak ketidakpuasan disalurkan dengan jalan kekerasan, anarkisme, dan penjarahan aset sipil, yang sejatinya tidak harus terjadi dalam entitas kenegaraan Republik Indonesia yang menjungjung tinggi konsep budi luhur dan sopan santunnya. Ironisnya, pergerakan mahasiswa dalam aksi demonstrasi baru-baru ini mendapat sorotan lebih tajam dari berbagai lapisan masyarakat. Beberapa kelompok mahasiswa bergerak lebih mengedepankan kekerasan daripada mediasi secara diplomatif. Aspek nalar intelektual tidak lagi mendominasi suasana pergerakan mahasiswa saat ini.
Menurut saya, hal ini bukan tanpa faktor yang melatarbelakanginya. Berbagai isu politik menjadi dugaan akan fenomena ini. Pergerakan mahasiswa lebih diarahkan sebagai tameng politik agenda komunitas tertentu. Mereka dijadikan alat propaganda politik praktis yang sarat akan kecurangan dan ketidak etisan oleh para mafia hukum.
Mahasiswa saat ini banyak digunakan sebagai penyukses kepentingan politik semata. Idealisme yang seharusnya tertanam dalam jiwa mahasiswa, sudah mulai hilang karena tuntutan materi yang semakin besar. Hal ini berdampak pada produktivitas mahasiswa dalam kegiatan keilmuwan (penelitian).
Kampus sebagai basis keilmuwan, pusat peradaban, tempat membangun mental dan watak juang, berangsur-angsur mulai tergerus oleh ketidakkonsistenan pemerintah dalam membina dan mengarahkan tradisi keilmuwan. Moeflich Hasbullah, salah satu dosen PTN di kota Bandung menyatakan bahwa nepotisme pejabat kampus, dominasi politik praktis di kampus, dan juga kurangnya budaya baca di kalangan mahasiswa menjadi faktor penyebab biasnya arah pergerakan mahasiswa sebagai pendekar moral dan politik.

Proporsionalitas dan profesionalitas
Pembiasan arah pergerakan mahasiswa saat ini sudah mulai terasa dengan sikap apatis terhadap realita yang ada. Gerakan-gerakan revolusioner mahasiswa yang dulu pernah muncul pada masa pergerakan nasional pasca kemerdekaan melawan rezim yang pro terhadap komunis lebih nyata dan terarah, kini seakan sirna ditelan budaya hedonis dan materialistis. Dulu, mereka memiliki musuh bersama yang dijadikan objek sasaran pelurusan akan ketimpangan kebijakannya.
Berbagai ketimpangan politik yang terjadi di Negara ini telah berhasil dibereskan oleh gerakan mahasiswa tempo dulu. Meskipun harus mengorbankan jiwa dan raga serta materi yang tidak sedikit, mereka konsisten dengan idealismenya melawan pemimpin ketidakadilan kebijakan pemerintah.
Dengan lahirnya tritura misalnya, hal ini merupakan salah satu agenda keberhasilan mahasiswa Indonesia dalam mematikan gerakan komunis yang sudah mempropaganda para pemimpin bangsa dan elemen bangsa lainnya sehingga timbullah pemberontakan PKI pada tahun 1965 dengan terbunuhnya 7 jenderal Angkatan Darat. Dalam hal ini, demonstrasi mahasiswa selain bertujuan untuk menekan pemerintah, difungsikan juga sebagai penguling kekuasaan yang tidak pro terhadap kesejahteraan rakyat.
Dengan lebih mengedepankan aspek proporsionalitas dan profesionalitas, gerakan mahasiswa, akan lebih memfokuskan diri pada sasaran tembak yang sama (common enemy), yakni oknum penjahat pemerintah yang secara sistematis dan halus telah mengebiri kepentingan dan hak-hak warga sipil.
Akhirnya perlu kita memperhatikan lagi status dan fungsi, serta peran kita dalam mengisi kemerdekaan ini, tujuannya agar perjuangan dan pengorbanan para pahlawan dulu tidak seolah-olah kita hianati dan biarkan begitu saja.  Mengutip pernyataan Yudi Latif, Direktur Reform Institute, bahwa, "Dalam mengisi kemerdekaan ini, dengan semangat Pancasila sebagai sebuah aturan yang mengatur moral publik, kita sejatinya segera mengambil peran sesuai dengan kapasitas kita sebagai insan akademik. Sehingga, arah pergerakan kita akan lebih terarah dan proporsional". [Dian Kurnia]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar