Minggu, 27 Mei 2012

Demokrasi Dwitunggal

GEJOLAK politik di Indonesia yang dewasa ini merebak ke setiap tingkat kehidupan telah berdampak langsung dengan hadirnya sikap apatis publik terhadap negara. Dengan kata lain rakyat tidak lagi percaya kepada pemerintah karena mereka dianggap gagal dalam mengemban amanat konstitusi.
Kegagalan pemerintah di mata rakyat bukan tanpa sebab dan permulaan. Tercatat, pasca-Orde Baru, negara kita masih terpenjara oleh momok ketidakadilan. Praktik KKN masih berjalan di setiap sektor kehidupan –bahkan mengalami peningkatan yang cukup tajam, mafia hukum bebas berkeliaran bak anjing kelaparan, dan kesejahteraan semakin jauh dari harapan. Hal ini menjadi alasan kuat bagi rakyat untuk menggugat pemerintah agar segera mundur dari tampu kekuasaan. “Revolusi belum selesai,” tegas Bung Karno.

Sedikitnya ada empat poin penting perihal kegagalan negara di mata rakyat. Pertama, hingga saat ini pemerintah dianggap kurang cakap mengurus penyelesaian sengketa pertanahan. Kedua, meski menyandarkan pemasukan negara dari proses produksi dan ekspor komoditas yang dihasilakan para buruh, pemerintah dinilai tidak bisa menyelesaikan perselisihan perburuhan. Ketiga, pemerintah tidak bisa menjamin hak hidup ataupun beribadah warga minoritas. Keempat, ketidakseriusan pemerintah menuntaskan kasus-kasus korupsi yang melibatkan personel ketiga institusi negara, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif (Kompas, 14/02/2012).
Pada kenyataannya, kesalahan fatal yang sering dilakukan oleh pemimpin-pemimpin politik terdahulu adalah merasa lebih kuat daripada sistem. Merasa kebal hukum karena kekuasaan ada dalam genggaman. Tak ayal, perilaku politiknya pun cenderung otoriter. Jauh dari kesan demokratis. Hal ini menjadi warisan leluhur budaya bangsa yang terus menerus dijalankan secara rutin oleh generasi pemimpin selanjutnya. Contoh nyata ketika rezim Orde Baru berkuasa. Pembangunan dalam program Repelita menjadi prioritas utama pemerintah. Akan tetapi, tradisi KKN pun “membudaya” dan dipelihara.  Akhirnya sistem harus tunduk pada penguasa. Kata pepatah, “Jangan wariskan air mata kepada anak cucu kita, tetapi wariskanlah mata air kepada mereka.”

Krisis peran
Demokrasi dapat berjalan baik apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi pada pemimpin-pemimpin politik. Bahwa zonder toleransi maka demokrasi akan karam, oleh karena demokrasi itu sendiri adalah penjelmaan daripada toleransi. Mengutamakan etika politik secara sadar. Inilah yang menjadi entry point di negara demokratis. Persoalannya, mayoritas pemimpin politik di negara kita lupa akan hal itu. Tanggung jawab menjadi “benda mati” ketika jabatan politik diperoleh. Toleransi melayang-layang dalam realitas disintegrasi sosial. Sungguh ironis! Mengingat, toleransi adalah keindahan tertinggi dari negara demokrasi.  Hanya praktik lempar batu sembunyi tangan yang dipertontonkan oleh elite pejabat di parlemen. Tiap elemen akhirnya lupa dengan perannya masing-masing. Maka terjadilah krisis peran. Wajar jika almarhum Mochtar Lubis—mantan wartawan dan sastrawan otodidak—menyatakan  dalam buku Manusia Indonesia Sebuah Pertanggungjawaban (1978), bahwa manusia Indonesia itu, diantaranya, berjiwa feodalistik, segan serta enggan bertanggungjawab atas perbuatan, putusan, kelakuan, dan pikirannya sendiri.
Belum hilang dari ingatan kita kasus suap pada Proyek Wisma Atlet dan Hambalang yang telah berhasil menyeret nama-nama penting dari partai pemerintah. Proses penyelesaian kasus “hitam” itu bisa kita nikmati setiap menit bahkan detik dengan jelas dari balik layar kaca. Berbelit-belit dalam mengungkap siapa dalang di balik konspirasi besar itu. Sampai sekarang pun proses hukum masih mengambang di permukaan. Belum menyentuh dasar persoalan yang sebenarnya. Semakin jauh dari harapan publik dengan terendusnya kembali The Next Gayus Tambunan, DW. Alhasil, publiklah yang harus menelan pil pahit akibat dramaturgi politik-praktis mafia hukum di Parlemen. Benar ucapan Niccolò Machiavelli, “Agar negara kuat, maka rakyat harus dilumpuhkan.” Rupanya mereka menerapkan konsep ini.
Azas supremasi hukum berhasil ditelanjangi oleh mafia yang terjerat berbagai kasus pidana; korupsi dan pencucian uang (money loundry). Peran yang dimainkan hanya sebagatas pementasan drama politik ‘hitam’ di atas panggung keambiguan. Rakyat bingung. Akhirnya, aspirasi rakyat kering akibat tersumbatnya corong demokrasi oleh pejabat tunaaksi.  Aristoteles (384-322 SM), negarawan Yunani pernah mengatakan, “Politik merupakan rumusan ilmu pengetahuan yang tugasnya mempelajari tujuan tertinggi dari eksistensi manusia. Ia bukan semata-mata alat praktis untuk meraih dan membangun kekuasaan duniawi semata. Ia juga bukan sebatas media permainan para politisi dalam melepaskan kepenatan sosial demokrasi.”
Miskinnya nilai-nilai kejujuran di kalangan  pejabat RI, mengindikasikan adanya kesalahan dalam hal penerapan konsep politik ideal. Yakni, politik yang benar-benar digunakan untuk kemaslahatan masyarakat. Bukan politik yang dijalankan tanpa pendidikan politik sebelumnya, sebagaimana ungkap Fleire, “Jika pendidikan tidak berpolitik, kita akan dipolitikkan oleh pendidikan.” Maka wajar, politik menggiring mereka ke dalam jurang keserakahan.
Sejarah mencatat, pemerintahan kuat di Indonesia adalah pemerintahan presidensial di bawah kepemimpinan dwitunggal Soekarno-Hatta. Ini fakta historis yang tak bisa dibantah. Ide ini (dwitunggal) bukanlah ide spontanitas belaka. Ia lahir dari jiwa bangsa. Melalui kenyataan yang dikehendaki oleh keadaan. Dan dalam alam pikiran rakyat, segala kesulitan akan dapat diatasi selama dwitunggal berada di atas pucuk pimpinan negara. Terlepas dari problem konsep presiden seumur hidupnya Soekarno.
Gaya kepemimpinan dwitunggal telah membawa bangsa Indonesia ke alam politik demokratis. Kecenderungan untuk berbuat kotor hampir tidak terjadi pada masa ini. Misalnya, ketika pemilu pertama diadakan (1955), meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak serta merta menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara.
Demokrasi adalah harga final bagi negara kita. Konsep kenegaraan yang menghendaki kehidupan layak bagi warga negaranya. Sebab, tidak ada demokrasi tanpa warganegara, tetapi politik dapat terus diselenggarakan tanpa partai politik. Karena itu, politik perwakilan tidak boleh menghilangkan prinsip primer demokrasi, yaitu keutamaan warganegara. Namun ternyata, konsep tersebut cukup sulit diaktualisasikan ke dalam praktik keseharian.
Terlepas dari persoalan di atas, untuk menjadi pemimpin negara (presiden) hebat memang dibutuhkan kerja keras dan kepribadian yang matang. Dan dwitunggal telah menjadi prototype ideal jika para pemimpin politik saat ini mau belajar serius dari sejarah bangsa. [Dian Kurnia]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar