KEBIJAKAN demi kebijakan
yang digulirkan pemerintah KIB jilid II rupanya tak begitu bisa
membangkitkan gairah eksotis kehidupan demokrasi di Indonesia. Negara
kian terpuruk ke arah kegelapan akibat dramaturgi politik-praktis para
politisi Senayan. Rakyat frustasi akibat kesulitan mendapatkan hak-hak
penghidupan. Toleransi—sebagai adik kandung demokrasi—bertransformasi
menjadi barang antik yang terus lenyap dalam wacana disintegrasi sosial.
Sementara korupsi, masih tangguh menjadi momok menakutkan bagi segenap
elemen bangsa. “…zonder toleransi, demokrasi akan karam,” begitu ucap Soekarno.
Perilaku anarkis yang belakangan terjadi di
berbagai daerah merupakan konsekuensi logis atas rencana pemerintah
(baca: kebijakan) dalam menaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dan TDL
(Tarif Dasar Listrik). Aksi demo yang kebanyakan dimotori oleh kaum
intelektual ini menjadi indikasi penting tentang tidak bisanya
pemerintah mengkoordinasi negara ke arah yang lebih baik.
Demokratis menjadi tidak beradab. Suasana
ketidakdemokratisan ini sungguh telah menggelayuti sendi-sendi kehidupan
riil masyarakat kita, baik di desa maupun di kota. Keadilan menjadi
basi diterkam bibit-bibit rakus praktik politik-praktis. Akhirnya, ia
kehilangan mahkota.
Muncul pertanyaan, apakah keadilan (sense of justice)
memang suatu hal yang utopis di negeri kita? Apakah Demokrasi Pancasila
hanya sebatas ide belaka sang bapak bangsa, Soekarno-Hatta? Dan, apakah
pemerintah yang benar-benar demokratis hanya ada dalam lakon sejarah
saja? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul ketika kepemimpinan yang
seharusnya bersikap demokratis malah berperilaku menggigit layaknya
rezim yang tumbang empat belas tahun yang lalu.
Suatu kewajaran jika pertanyaan-pertanyaan
tersebut menyeruak ke permukaan. Setiap individu dari kita pasti bisa
merasakan dengan hati nurani paradoksnya demokrasi di negeri ini.
Demonstrasi anarkis menolak kenaikan harga BBM telah menambah black list
atas ironisme demokrasi. DPR tidak seutuhnya berfungsi. Sejatinya
demonstrasi anarkis tidak harus terjadi jika DPR benar-benar bertindak
sebagai dewan perwakilan rakyat. Namun kenyataan harus berkata lain.
Akibatnya, demokrasi berangsur-angsur karam. Narasi keadilan kian ironis
diterjang politik kiri para pejabat “murahan” di Senayan. [Dian Kurnia]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar