Selasa, 05 Juni 2012

Kampanye Berbasis Literasi Politik

KABAR baru berhembus dari Senayan terkait dengan rentang masa kampanye yang panjang untuk pemilu 2014. DPR dan pemerintah telah sepakat menetapkan masa kampanye dimulai sejak partai politik (parpol) dinyatakan sah sebegai peserta pemilu (SINDO, 31/1/2012). Dengan demikian, masa kampanye parpol direncanakan akan berlangsung 15-16 bulan sejak pengumuman verifikasi parpol oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jika asumsi waktu berjalan mulus, maka rentang masa kampanye pemilu 2014 akan lebih panjang dari pemilu 2009.

Seperti kita ketahui, merujuk ke UU No. 10/2008 peserta pemilu 2009 berkampanye 9 bulan, yakni sejak 5 Juli 2008 hingga 5 April 2009. Lantas akankah rentang kampanye yang panjang itu turut meningkatkan kualitas pemilu?

Model Ostergaard
Kampanye sejatinya merupakan bentuk komunikasi politik sebagai upaya memersuasi pemilih (voter) agar mendapatkan dukungan dari banyak kalangan saat pencontrengan. Menurut Michael dan Roxanne Parrot dalam bukunya Persuasive Communication Campaign (1993), kampanye didefinisikan sebagai proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan dan dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.
Hal senada juga dikemukakan oleh Roger dan Storey dalam Communication Campaign (1987) yang juga mendefiniskan kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi terencana yang bertujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.
Dengan demikian, inti kegiatan kampanye tentu saja adalah persuasi. Berbagai hal biasanya dilakukan oleh para kandidat mulai dari iklan di media lini atas (above the line media), media lini bawah (below the line media), hingga loby dan negosiasi yang langsung penetratif ke simpul-simpul pemilih. Kampanye yang baik, tentu saja adalah kampanye berkonsep dan tepat pada target yang dibidik. Kampanye modern yang prospektif memersuasi khalayak biasanya adalah kampanye transformasional.
Dalam pandangan Leon Ostergaard, sebagaimana dikutip oleh Klingemann (2002), paling tidak ada tiga tahapan dalam kampanye. Pertama, mengidentifikasi masalah faktual yang dirasakan. Syarat kampanye sukses, harus berorientasi pada isu (issues-oriented), bukan semata berorientasi pada citra (image-oriented). Kampanye merupakan momentum tepat untuk menunjukkan bahwa kandidat memahami benar berbagai persoalan nyata, faktual, elementer dan membutuhkan penanganan di masyarakat. Sudah tidak saatnya lagi kampanye hanya menawarkan solusi imajiner yang abstrak, tidak memiliki basis pemecahan masalah (problem solving).
Kedua, pengelolaan kampanye yang dimulai dari perancangan, pelaksanaan hingga evaluasi. Dalam tahap ini, lagi-lagi riset perlu dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik khalayak sasaran agar dapat merumuskan pesan, aktor kampanye, saluran hingga teknis pelaksanaaan kampanye yang sesuai. Pada tahap pengolalaan ini, seluruh isi program kampanye (campaign content) diarahkan untuk membekali dan memengaruhi aspek pengetahuan, sikap serta keterampilan khalayak sasaran. Ketiga aspek ini dalam literatur ilmiah dipercaya menjadi prasyarat terjadinya perubahan perilaku (voting behavior). Kampanye tak cukup hanya bertumpu pada retorika sloganistik. Pemilih kekinian, tak lagi cukup hanya mendengarkan slogan, melainkan butuh indiktor-indikator yang bisa raba sekaligus diadu pada level gagasan dan program. Kampanye harus diterjemahkan dari tema besar yang serba elitis ke real world indicators. Sehingga berbagai rincian program itu dapat menarik dan menjadi bagian utuh kesadaran pemilih atau apa yang Walter Lipman tulis sebagai the world outside and pictures in our head.
Ketiga, adalah tahap evaluasi pada penanggulangan masalah (reduced problem). Dalam hal ini, evaluasi diarahkan pada efektivitas kampanye dalam menghilangkan atau mengurangi masalah sebagaimana yang telah diidentifikasi pada tahap pra kampanye. Kampanye dengan demikian, bukanlah sebuah mekanisme janji palsu atau pembohongan publik. Melainkan sebuah deklarasi komitmen untuk melakukan hal-hal terbaik yang bisa dilakukan. Sekaligus meyakinkan berbagai pihak bahwa para kandidat memiliki berbagai solusi jangka pendek, menengah dan panjang sebagai formula mengurangi masalah yang ada di masyarakat. Saat pasangan capres dan cawapres mampu menunjukkan platform dan solusi berbagai persoalan negeri ini, bukan tidak mungkin akan muncul dukungan pemilih yang meluas.

Kampanye Transformasional
Kampanye transformasional bisa mewujud dalam penanda kata, konstruksi gagasan, konseptualisasi penanganan masalah serta teknik dan strategi yang inspiratif. Kampanye jenis ini biasanya tak hanya menghipnotis pemilih dengan kata-kata, melainkan juga dapat menggerakan minat berpartisipasi dalam politik dan menumbuhkan harapan bersama untuk maju bersama-sama.
Biasanya, sebuah kampanye menjadi transformasional selain memiliki titik simpul gagasan besar juga berbasis pendekatan komunitas. Pemberdayaan politik komunitas, misalnya dilakukan mulai dari level nasional hingga ke daerah melalui tiga kata kunci utama. Pertama, pendekatan community relations yakni membangun komunikasi yang inspiratif dengan kalangan grassroot langsung ke sasaran mereka.
Kedua, pendekatan community services, dimana para kandidat dan tim sukses harus mau dan mampu melayani komunitas yang menjadi target kampanye secara tepat dan mengena.
Ketiga, community empowerment. Sebuah metode kampanye yang berorientasi pada pemberdayaan jangka panjang. Misalnya, melalui pendidikan politik atau pelatihan tertentu sehingga komunitas-komunitas tersebut tumbuh menjadi komunitas yang kuat. Kampanye dengan pendekatan komunitas ini seyogianya dilakukan oleh parpol, sehingga prosesi kampanye dapat mewujud dalam bentuk yang lebih transformatif.
Saatnya parpol-parpol di Indonesia, menggunakan kampanye dengan pendekatan modern yakni berbasis literasi politik. Hal itu dimulai dengan gagasan yang tidak seragam dengan demikian adu gagasan menjadi mungkin terjadi sehingga memberi opsi-opsi dan referensi bagi pemilih. Politik citra bukan semata-mata sukses membentuk hyperealitas melainkan memberi kesempatan pada publik untuk megetahui platform, komitmen, kredibilitas dan orientasi masa depan parpol-parpol yang ada sehingga memungkinkan munculnya trust yang menjadi penggerak keterpilihan parpol di bilik-bilik suara.***

Gun Gun Heryanto, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar