“… tidaklah orang sadar, bahwa zonder toleransi maka demokrasi akan karam, oleh karena demokrasi itu sendiri adalah penjelmaan daripada toleransi.”-Soekarno-
KERAN demokrasi lerbuka lebar ketika rezim Orde Baru
tumbang dihantam badai moneter tahun 1997-1998. Layaknya seorang
ksatria berkuda yang berhasil menumpas musuh-musuhnya di medan perang,
“pejuang demokrasi” tampil ke depan podium reformasi menyatakan
kemenangannya. Otoriterisme berakhir tragis. Memberi jalan bagi
liberalisme politik dan ekonomi untuk menapaki jejaknya. Partai politik
pun berlarian kegirangan laksana seorang budak yang keluar dari kurungan
penjara bawah tanah bertahun-tahun lamanya.
Terekam oleh dunia, berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus nafas
penyambung keadilan lenyap diterjang timah panas sang loyalis rezim.
Mereka rela mati demi kehidupan demokratis yang (tentunya) bukan
abal-abal. Hingga akhirnya, perjuangan mereka diridhai Tuhan Yang
Mahakuasa pada Mei 1998 dengan dihunuskannya pedang reformasi kepada
tuan tanah sang penjaga istana. “Revolusi belum selesai,” tegas Bung
Karno. “Res Publica. Sekali lagi Res Publica!”
Kebebasan (liberty)–yang sering diidentikan dengan kemerdekaan (freedom)—adalah
hak universal masyarakat di negara demokrasi, seperti Indonesia. Karena
tanpa kebebasan dan toleransi, sebagaimana ucap Soekarno, demokrasi
akan karam. Tidak berarti apa-apa. Namun, bukan “kebebasan” untuk
korupsi seperti yang dewasa ini banyak “diamalkan” oleh mayoritas
anggota DPR RI, juga partai politik yang kian jauh dari tujuan
memperjuangkan hak-hak rakyat. Atau kebebasan (keinginan) para pemimpin
politik untuk menggasak kursi panas di Parlemen. Kebebasan seperti ini
“haram” hukumnya bertengger di negara kita.
Dalam persfektif ilmu politik, kebebasan (liberty) adalah
momen terbukanya ruang publik untuk menyuarakan dan memperjuangkan
hak-hak politik yang dilindungi oleh hukum dalam sebuah negara yang
demokratis (Komarudin Hidayat, 2003). Pun demikian dengan Pemilihan Umum
atau Pemilu. Sebagai salah satu pilar negara demokrasi, pemilu
dilaksanakan secara demokratis. Rakyat berpartisipasi aktif menggunakan
hak politiknya dengan satu tujuan; lepas dari cengkraman rezim agar
dapat merasakan kesejahteraan hidup di negara demokrasi. Tentunya bukan
kesejahteraan dengan menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dan TDL
(Tarif Dasar Listrik). Tapi kesejahteraan yang timbul dari sosok
pemimpin demokratis. Namun rupanya di negara kita kesejahteraan dalam
konteks seperti ini belum begitu jelas terlihat. Kesejahteraan masih
saja dinikmati oleh segelintir elite pejabat di Parlemen. Sementara di
bawah, rakyat jelata, masih tertindas oleh segudang masalah kehidupan.
Demokratisasi lintas sektoral masih perlu disempurnakan. Salah satunya
adalah dengan memperbaiki celah yang rusak di setiap momen Pemilihan
Umum –baik pilpres maupun pilkada. Sebab, pemilu adalah alat untuk
menyempurnakan demokrasi.
Di negara demokrasi pemilu adalah keniscayaan. Yang menjadi syarat
minimum bagi suatu negara jika ingin dikatakan sebagai negara demokrasi.
Dengan catatan, pemilu yang dilandasi prinsip “Luber” dan “Jurdil”.
Berkompetisi politik secara sehat. Mengedepankan nilai-nilai kejujuran.
Dan membuang jauh faham federalisme dan egoisme golongan yang hanya
berbuntut pada aksi-aksi pengrusakan terhadap nilai-nilai demokrasi itu
sendiri. Seraya mengutip pendapat Soekarno, “Dengan terbitnya matahari
kebangsaan Indonesia yang bulat dan bersatu, hilanglah hak sejarah bagi
ide provinsialisme, ide insularisme, dan ide federalisme. Maka
barangsiapa sekarang ini membangkitkan kembali ide-ide tersebut, ia
seperti orang yang menggali kubur dan mencoba menghidupkan kembali
tulang orang-orang yang dikubur berpuluh-puluh tahun yang lampau.”
Kendati demikian, pilihan politik rakyat kini telah semakin rasional.
Tidak lagi menyanderakan diri pada sosok “Ratu Adil”. Pilihan bermotif
primordial terus-menerus menyusut. Latar kesukuan, gender, dan bahkan
agama tak lagi menjadi dasar alasan rakyat untuk menentukan pilihan
politiknya. Faktanya, menurut data LSI pada pemilu 1999 sebanyak 57%
umat Islam di Indonesia memiliki pilihan politik yang sekular.
Persfektif historis
Pemilu pertama tahun 1955 adalah contoh nyata pelaksanaan demokrasi
sehat di Indonesia. Meski yang menjadi calon anggota DPR adalah Perdana
Menteri dan Menteri yang sedang memerintah, mereka tidak serta merta
menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan
untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok
pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan
memenangkan pemilu dengan segala cara.
Berbeda dengan hari ini. Pemilu dijadikan ajang “penodaan” terhadap
nilai-nilai demokrasi. Suap menyuap bukan lagi hal yang tabu dalam
proses kampanye. Manipulasi data suara dalam ajang Pemilihan Umum masih
sering terjadi di banyak TPS di Indonesia. Alhasil, pemilu akhirnya
menjadi bencana bagi negara demokrasi.
Hingga detik ini kita belum berhasil memanfaatkan demokrasi untuk
kemakmuran, kesejahteraan, pemerataan, dan kebebasan yang sesungguhnya.
Demokrasi baru termanfaatkan oleh mereka yang memiliki nama tenar untuk
politik dan kekuasaan. Selebihnya, demokrasi baru termanfaatkan di
perguruan tinggi sebagai bahan baku pengetahuan dan tema-tema seminar.
Sementara itu, di tingkat bawah, demokrasi baru termanfaatkan untuk
berdemo –walaupun secara anarkis.
Satu dasawarsa setelah bergulirnya reformasi 1998, Indonesia tampil
sebagai penggerak kebebasan dan demokrasi bagi dunia (Islam) serta
negara-negara di Asia Tenggara. Hal ini merupakan keberhasilan yang
mencengangkan. Mengingat, dari pengalaman masa transisi di Indonesia,
baru kali ini demokrasi berjalan satu dasawarsa lebih. Tetapi,
pengalaman Indonesia juga relevan jika dibandingkan dengan pengalaman
negara lain yang keluar dari otoriterisme. Bandingkan, misalnya, dengan
Rusia. Semenjak lepas dari rezim komunisme dan melakukan reformasi
birokrasi pada 1991, Rusia bukannya semakin demokratis, tetapi semakin
melorot ke arah yang lebih otoriterisme. Apakah Indonesia harus
mengikuti jejak muram Rusia?
Dian Kurnia, Mahasiswa Sejarah UIN SGD Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar